DPR sebut RUU PPRT wujud komitmen lindungi pekerja rumah tangga
30 Juli 2024 20:04 WIB
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya saat hadir secara daring di Forum Legislasi bertema "RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/7/2024). (ANTARA/HO-Humas DPR RI)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menyampaikan keberadaan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi wujud komitmen pemerintah dan DPR dalam melindungi pekerja rumah tangga.
"Political will (kehendak politik) itu untuk memberi perlindungan kepada mereka yang rentan, warga negara yang rentan. Yang pertama yang kita atur adalah masalah perlindungan," kata Willy saat menghadiri secara daring Forum Legislasi bertema "RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan selama ini pekerja rumah tangga belum memperoleh perlindungan karena mereka tidak memiliki status sebagai pekerja.
Berikutnya, Willy menyampaikan pula bahwa RUU PPRT menjadi salah satu prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Atas dasar itu, kata dia, DPR pun berkewajiban untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
Baca juga: Komnas Perempuan desak percepatan pengesahan RUU PPRT
Baca juga: Komnas HAM: RUU PPRT bicara tentang keadilan bagi pekerja domestik
“Ketika disahkan nantinya, tidak ada lagi penyalur pekerja rumah tangga yang tidak berbadan hukum, jika melihat sekarang, hanya sebagai yayasan, nanti tidak boleh,” kata Willy menambahkan.
Pada Maret 2023, DPR RI telah menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. Presiden juga telah mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU PPRT ke pimpinan DPR dan menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
Sebelumnya, sejumlah pihak telah menyoroti persoalan RUU PPRT yang tak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Pihak itu di antaranya adalah Komnas HAM.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan bahwa RUU PPRT merupakan kepentingan nasional, sehingga harus segera disahkan menjadi undang-undang.
“Sebenarnya ini adalah kepentingan nasional kita karena pasti akan mengalami gangguan kalau teman-teman PRT ini mogok karena tuntutan mereka terhadap perlindungan melalui undang-undang itu tidak segera diberikan oleh negara,” ucap Anis.
Menurut dia, RUU tersebut akan berdampak bagi banyak orang karena tidak hanya memberi kepastian hukum bagi PRT, tetapi juga pemberi kerja. Terlebih, kata dia, jumlah PRT di Indonesia yang relatif banyak.
“Soal dampak kalau (RUU) ini tidak disahkan, ya, tentu situasi PRT tetap dalam ancaman, tetap mengalami kerentanan dari semua bentuk tadi yang sudah kita diskusikan, termasuk tadi perdagangan orang, perdagangan modern, eksploitasi seksual, dan lain-lain,” katanya pula.
Di samping itu, dia optimistis RUU PPRT disahkan sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir. Menurutnya, masih ada masa sidang di DPR yang bisa digunakan untuk mendorong disahkannya RUU tersebut.*
Baca juga: KPAI: UU PPRT harapan tekan kasus eksploitasi anak sebagai pembantu
Baca juga: KPAI: 65 persen daerah belum memiliki RAD perlindungan pekerja anak
"Political will (kehendak politik) itu untuk memberi perlindungan kepada mereka yang rentan, warga negara yang rentan. Yang pertama yang kita atur adalah masalah perlindungan," kata Willy saat menghadiri secara daring Forum Legislasi bertema "RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan selama ini pekerja rumah tangga belum memperoleh perlindungan karena mereka tidak memiliki status sebagai pekerja.
Berikutnya, Willy menyampaikan pula bahwa RUU PPRT menjadi salah satu prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Atas dasar itu, kata dia, DPR pun berkewajiban untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
Baca juga: Komnas Perempuan desak percepatan pengesahan RUU PPRT
Baca juga: Komnas HAM: RUU PPRT bicara tentang keadilan bagi pekerja domestik
“Ketika disahkan nantinya, tidak ada lagi penyalur pekerja rumah tangga yang tidak berbadan hukum, jika melihat sekarang, hanya sebagai yayasan, nanti tidak boleh,” kata Willy menambahkan.
Pada Maret 2023, DPR RI telah menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. Presiden juga telah mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU PPRT ke pimpinan DPR dan menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
Sebelumnya, sejumlah pihak telah menyoroti persoalan RUU PPRT yang tak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Pihak itu di antaranya adalah Komnas HAM.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan bahwa RUU PPRT merupakan kepentingan nasional, sehingga harus segera disahkan menjadi undang-undang.
“Sebenarnya ini adalah kepentingan nasional kita karena pasti akan mengalami gangguan kalau teman-teman PRT ini mogok karena tuntutan mereka terhadap perlindungan melalui undang-undang itu tidak segera diberikan oleh negara,” ucap Anis.
Menurut dia, RUU tersebut akan berdampak bagi banyak orang karena tidak hanya memberi kepastian hukum bagi PRT, tetapi juga pemberi kerja. Terlebih, kata dia, jumlah PRT di Indonesia yang relatif banyak.
“Soal dampak kalau (RUU) ini tidak disahkan, ya, tentu situasi PRT tetap dalam ancaman, tetap mengalami kerentanan dari semua bentuk tadi yang sudah kita diskusikan, termasuk tadi perdagangan orang, perdagangan modern, eksploitasi seksual, dan lain-lain,” katanya pula.
Di samping itu, dia optimistis RUU PPRT disahkan sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir. Menurutnya, masih ada masa sidang di DPR yang bisa digunakan untuk mendorong disahkannya RUU tersebut.*
Baca juga: KPAI: UU PPRT harapan tekan kasus eksploitasi anak sebagai pembantu
Baca juga: KPAI: 65 persen daerah belum memiliki RAD perlindungan pekerja anak
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024
Tags: