Kepala BKKBN: Penyuluh KB perlu jadi organisasi pembelajar
30 Juli 2024 16:43 WIB
Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo saat menghadiri pertemuan ilmiah tahunan (PIT) Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB) di Jakarta pada Selasa (30/7/2024). (ANTARA/HO-BKKBN)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan penyuluh Keluarga Berencana (KB) perlu menjadi organisasi pembelajar saat menghadiri Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB).
“Kita harus sadar betul untuk terus belajar, apalagi penyuluh komunitasnya besar. Kalau tidak pernah belajar, bagaimana kita ada perubahan? Jadi harus bersinergi dan berkompetisi. Harapan saya penyuluh adalah organisasi pembelajar, sehingga perdebatannya tentang ilmu,” ujar Hasto dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan dengan terus belajar, penyuluh akan paham apa saja program yang harus dicapai.
“Harapan saya nanti ada abstrak-abstrak penelitian yang dilakukan. Misalnya, BKKBN bekerja sama dengan lembaga-lembaga, sehingga menambah wawasan," katanya.
Baca juga: BKKBN perkuat peran penyuluh KB ciptakan keluarga berkualitas
Terkait program, Hasto juga mengingatkan para penyuluh KB untuk memahami bahwa untuk menurunkan angka stunting, bukan hanya tentang mengukur panjang badan secara akurat, melainkan juga bagaimana mencatat perkembangan balita.
"Dinilai perkembangan anak, cara komunikasinya, tingkah lakunya, gerakan kasar dan halusnya. Jangan-jangan dia pendek saja tapi tidak stunting, karena pendek belum tentu stunting," ucapnya
Ia kemudian memberikan contoh dengan memperlihatkan Kartu Kembang Anak (KKA) di Lombok Timur. Di dalam KKA tersebut, anak yang dinyatakan stunting dan mengalami keterlambatan secara umum, tercatat hanya 63 persen, sisanya tidak mengalami gangguan. Sedangkan anak yang tidak stunting tetapi mengalami gangguan perkembangan umum 50 persen.
"Hati-hati, anak-anak yang tidak stunting juga berpotensi stunting di dalamnya. Anaknya tidak stunting karena diukur tidak pendek, tetapi otaknya stunting," ujar dia.
Baca juga: Hilangkan ego sektoral demi tingkatkan pelayanan KB
Untuk itu ia menegaskan hal-hal tersebut harus terus dipelajari penyuluh KB, yang perlu juga memiliki bekal menjadi komunikator yang baik sesuai pesan dari Filsuf Aristoteles tentang ethos, logos, pathos.
“Ethos sudah dimiliki para penyuluh terkait dengan etika, sementara logos juga demikian, karena para penyuluh memiliki kemampuan untuk melakukan penyuluhan, misalnya sosialisasi tentang kontrasepsi,” katanya.
Terkait pathos, Hasto menyinggung soal hubungan emosional dengan pasien, yakni bagaimana emosi penyuluh bisa memiliki keterikatan dengan calon akseptor.
Baca juga: BKKBN minta penyuluh untuk genjot KB usai persalinan
Ia juga berpesan kepada seluruh penyuluh untuk belajar soal demografi. “Anda harus paham terkait demografi, karena Anda adalah penyuluh kependudukan dan keluarga berencana, ditambah stunting. Demografi itu adalah rasio ketergantungan, jumlah orang usia produktif dibandingkan dengan yang tidak produktif," paparnya.
Menurutnya, rasio ketergantungan paling rendah dalam upaya meraih bonus demografi tercatat secara nasional terjadi pada tahun 2022 di mana angkanya 44,33. Artinya, setiap 100 orang bekerja hanya menanggung 44 orang tidak produktif.
"Kalau masyarakat mau sejahtera, kesempatannya ya sekarang," tutur Hasto.
Baca juga: BKKBN: Audiovisual berbahasa agama mudahkan masyarakat pahami stunting
“Kita harus sadar betul untuk terus belajar, apalagi penyuluh komunitasnya besar. Kalau tidak pernah belajar, bagaimana kita ada perubahan? Jadi harus bersinergi dan berkompetisi. Harapan saya penyuluh adalah organisasi pembelajar, sehingga perdebatannya tentang ilmu,” ujar Hasto dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan dengan terus belajar, penyuluh akan paham apa saja program yang harus dicapai.
“Harapan saya nanti ada abstrak-abstrak penelitian yang dilakukan. Misalnya, BKKBN bekerja sama dengan lembaga-lembaga, sehingga menambah wawasan," katanya.
Baca juga: BKKBN perkuat peran penyuluh KB ciptakan keluarga berkualitas
Terkait program, Hasto juga mengingatkan para penyuluh KB untuk memahami bahwa untuk menurunkan angka stunting, bukan hanya tentang mengukur panjang badan secara akurat, melainkan juga bagaimana mencatat perkembangan balita.
"Dinilai perkembangan anak, cara komunikasinya, tingkah lakunya, gerakan kasar dan halusnya. Jangan-jangan dia pendek saja tapi tidak stunting, karena pendek belum tentu stunting," ucapnya
Ia kemudian memberikan contoh dengan memperlihatkan Kartu Kembang Anak (KKA) di Lombok Timur. Di dalam KKA tersebut, anak yang dinyatakan stunting dan mengalami keterlambatan secara umum, tercatat hanya 63 persen, sisanya tidak mengalami gangguan. Sedangkan anak yang tidak stunting tetapi mengalami gangguan perkembangan umum 50 persen.
"Hati-hati, anak-anak yang tidak stunting juga berpotensi stunting di dalamnya. Anaknya tidak stunting karena diukur tidak pendek, tetapi otaknya stunting," ujar dia.
Baca juga: Hilangkan ego sektoral demi tingkatkan pelayanan KB
Untuk itu ia menegaskan hal-hal tersebut harus terus dipelajari penyuluh KB, yang perlu juga memiliki bekal menjadi komunikator yang baik sesuai pesan dari Filsuf Aristoteles tentang ethos, logos, pathos.
“Ethos sudah dimiliki para penyuluh terkait dengan etika, sementara logos juga demikian, karena para penyuluh memiliki kemampuan untuk melakukan penyuluhan, misalnya sosialisasi tentang kontrasepsi,” katanya.
Terkait pathos, Hasto menyinggung soal hubungan emosional dengan pasien, yakni bagaimana emosi penyuluh bisa memiliki keterikatan dengan calon akseptor.
Baca juga: BKKBN minta penyuluh untuk genjot KB usai persalinan
Ia juga berpesan kepada seluruh penyuluh untuk belajar soal demografi. “Anda harus paham terkait demografi, karena Anda adalah penyuluh kependudukan dan keluarga berencana, ditambah stunting. Demografi itu adalah rasio ketergantungan, jumlah orang usia produktif dibandingkan dengan yang tidak produktif," paparnya.
Menurutnya, rasio ketergantungan paling rendah dalam upaya meraih bonus demografi tercatat secara nasional terjadi pada tahun 2022 di mana angkanya 44,33. Artinya, setiap 100 orang bekerja hanya menanggung 44 orang tidak produktif.
"Kalau masyarakat mau sejahtera, kesempatannya ya sekarang," tutur Hasto.
Baca juga: BKKBN: Audiovisual berbahasa agama mudahkan masyarakat pahami stunting
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: