Lampung Selatan (ANTARA) - Kabupaten Lampung Selatan, memiliki ragam budaya, tradisi dan kekayaan alam yang melimpah. Salah satu tradisi yang masih lestari adalah tarik jaring payang, yakni menangkap ikan secara bersama-sama oleh para nelayan setempat.
Nelayan di Lampung Selatan untuk menangkap ikan sudah terbiasa dengan menggunakan cara tarik jaring payang. Cara tersebut menggambarkan kebersamaan masyarakat pesisir Lampung Selatan dalam menangkap ikan.
Tarik jaring payang merupakan tradisi menangkap ikan dengan menggunakan jaring panjang yang panjangnya mencapai ratusan meter, ditarik dengan perahu dari darat ke tengah laut.
Masyarakat pesisir Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, memiliki kebiasaan untuk memupuk kegotongroyongan tersebut. Tua muda bahu-membahu menarik jaring payang yang panjang, sedangkan kaum wanita menjual hasil tangkapan.
Para nelayan sangat bersemangat untuk mencari ikan, meski membutuhkan waktu antara satu hingga dua jam untuk menarik ikan ke daratan dalam kondisi cuaca terik.
Tarik jaring payang dilakukan dengan melepaskan jala ikan sekitar satu mil ke tengah lautan, dengan salah satu ujung lainnya masih berada di darat.
Jaring dijatuhkan di lautan dengan posisi melingkar membentuk huruf U sampai kedua ujung jala berada di daratan.
Kemudian, kedua ujung jala tersebut ditarik bersama-sama oleh para nelayan. Jumlah nelayan 8 hingga 20 orang tergantung berat dari jaring tersebut.
Hampir punah
Namun, keberadaan tradisi menarik jaring payang di Kabupaten Lampung Selatan ini hampir punah karena banyak nelayan di wilayah sekitar lebih memilih mencari ikan di tengah laut dengan memanfaatkan cara tangkap yang lain.
Selain itu, tradisi ini juga terkendala dengan hadirnya penahan atau pemecah ombak (break water). Nelayan harus berhati-hati dalam menginjakkan kaki di bebatuan yang licin di atas pemecah ombak. Perahu juga mudah rusak karena sering membentur batu yang keras.
Penahan ombak tersebut telah dibangun oleh pemerintah untuk mengantisipasi tsunami Selat Sunda yang terjadi pada 2018. Tapi, belakangan fenomena tersebut tidak terdampak kepada masyarakat di wilayah Lampung dan sekitarnya.
Tsunami yang diakibatkan oleh pasang tinggi dan longsor bawah laut karena letusan Gunung Anak Krakatau pada waktu itu, sempat berdampak pada jatuhnya ratusan korban jiwa di Lampung Selatan, Pandeglang dan Serang, Banten.
Tapi, para nelayan kini mulai merasakan dampak kehadiran tembok penahan ombak di lokasi tarik jaring payang. Mereka tidak ada lagi tempat yang beralaskan pasir untuk menarik jaring payang.
Salah satu seorang nelayan Murtado saat ditemui di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, mengatakan keberadaan tradisi tarik jaring payang di desa itu sudah menjadi kebiasaan nelayan sejak ratusan tahun lalu.
Ia memastikan kegiatan tersebut akan terus terjaga sebagai bagian dari menjaga warisan nenek moyang karena tradisi ini dapat memperkuat kerukunan warga dan menjadi daya tarik wisata.
Tarik jaring payang darat tradisional tidak hanya sekadar mencari dan mendatangkan rezeki, tetapi juga mengandung tradisi kelautan masyarakat pesisir yang fenomenal dan mengagumkan.
Kendati begitu, jumlah tangkapan mereka sempat menurun dibandingkan sebelum ada tembok penahan ombak. Sebelumnya, ikan tangkapan mereka bisa mencapai 500 kilogram per hari, tapi saat ini hanya puluhan ember, karena ruang gerak nelayan menjadi sangat terbatas.
Kawanan ikan juga tidak sebanyak dulu lagi karena habitat ikan di daerah tersebut sudah terhalang oleh tembok penahan ombak sehingga ekosistem alam laut menjadi tidak seimbang.
Nelayan setempat membutuhkan bantuan dari pemerintah daerah agar tradisi ini tetap bertahan, di antaranya dengan pelebaran lokasi tempat menarik jaring payang, peralatan tangkap ikan dan mesin perahu.
Kelangsungan tradisi
Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan pada Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, Joner Putar Putar mengakui pentingnya tradisi jaring payang demi keberlanjutan masyarakat nelayan di sekitar pesisir, terutama di Desa Way Muli.
Ia pun menyetujui usulan adanya bantuan bagi para nelayan tersebut agar tetap bisa melakukan kegiatan menangkap ikan dan tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun tersebut tetap terjaga.
Para nelayan bisa membentuk paguyuban atau kelompok terlebih dulu serta mengurus legalitas hukum kepada notaris, yang nantinya dapat memudahkan pihak dinas perikanan terkait dalam penyaluran bantuan.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah melalui dinas, juga telah menyiapkan tim penyuluh lapangan untuk memberikan asistensi dan mempermudah penyaluran aspirasi, agar nelayan tidak kesulitan dalam mengurus pengajuan bantuan fasilitas tersebut.
Terkait usulan untuk relokasi, pemerintah daerah juga telah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk pemindahan lokasi tebar jaring yang masih memiliki pantai berpasir, mengingat wilayah operasi nelayan sudah tidak kondusif untuk mencari ikan.
Dengan berbagai upaya, termasuk komunikasi yang terus terjalin antara pemerintah daerah dengan nelayan, tradisi tarik jaring payang diharapkan dapat terus terjalin dan tidak tergerus oleh waktu.
Pemerintah daerah menyadari, tindakan ini dilakukan tidak hanya semata-mata menyelamatkan tradisi para nelayan, tetapi juga mengamankan salah satu potensi pariwisata yang ada di Lampung Selatan.
Perpaduan antara kebudayaan, tradisi dan kekayaan alam di wilayah Lampung Selatan tentu bisa menjadi nilai tambah untuk mengundang para wisatawan berkunjung ke kawasan Lampung Selatan ini.
Perputaran roda ekonomi melalui penangkapan ikan serta pariwisata yang diikuti semangat membangun keguyuban dan kegotongroyongan, menjadi bagian kehidupan masyarakat pesisir Lampung Selatan. Mereka berharap akan mendapat ruang yang cukup agar tetap bisa melakukan tarik jaring payang, demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Artikel
Memupuk kebersamaan melalui tarik jaring payang di Lampung Selatan
Oleh Riadi Gunawan
30 Juli 2024 13:17 WIB
Suanasa puluhan nelayan pesisir Rajabasa Lampung Selatan saat menarik jaring payang. (ANTARA/Riadi Gunawan)
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: