Luas area perkebunan kopi rakyat di provinsi tersebut di 2020 sekitar 156.458 hektare. Sentra perkebunan kopi di provinsi ini tersebar di Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus, dan Waykanan.
Kopi robusta Lampung Barat yang terkenal itu tak asing di telinga setiap pecinta kopi di Tanah Air maupun pasar luar negeri. Dari kemasyhuran kopi Lampung, ada kisah menarik dibaliknya. Harumnya aroma kopi Lampung telah melebur bersama budaya masyarakat di Kabupaten Lampung Barat.
Eratnya kopi dan kebudayaan masyarakat Lampung Barat telah ada sejak Kerajaan Sekala Brak yang merupakan cikal bakal masyarakat Lampung Barat.
Tempo dulu mayoritas warga kerajaan itu merupakan petani kopi dan menjadikan kopi sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dari menjelang tidur hingga terbangun dari istirahat, masyarakat selalu berkutat dengan pengolahan serta menjaga tanaman kopi mereka di kebun.
Bahkan kopi wajib disediakan di setiap rumah, bukan hanya untuk konsumsi pribadi, namun sudah semacam 'welcome drink' penyambut tamu yang hadir ke kediaman masyarakat Lampung Barat sejak Kerajaan Sekala Brak.
Di masa panen raya kopi bahkan masyarakat melakukan ritual budaya khusus untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kebunnya bisa menghasilkan kopi yang melimpah.
Ngumbai biasa dilakukan oleh setiap pekon (desa). Para tetua kampung akan menentukan lokasi upacara yang mirip dengan acara ruwatan itu, seperti di rumah adat, di masjid, atau langsung di kebun kopi warga.
Dalam pelaksanaan Ngumbai ada sejumlah properti yang harus disediakan masyarakat sebagai simbol ritual adat tersebut, seperti janur kelapa atau janur dari pohon enau yang dikenal sebagai aren.
Janur ini di letakkan di halaman rumah adat, kebun, atau masjid. Lalu, disiapkan pula air murni yang berasal dari air sumur, mata air atau air hujan, dan hewan kurban baik sapi, kambing atau ayam yang sebelumnya telah dimusyawarahkan oleh warga pekon serta tua-tua adat.
Ritual budaya untuk menjaga kebun kopi warga tetap terjaga itu dimulai dengan melakukan doa bersama. Kemudian dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban dilakukan di atas janur yang telah disiapkan, untuk kemudian tetesan darah hewan kurban tersebut yang telah larut dalam air murni bersama janur dibagikan kepada masyarakat agar diletakkan di kebun kopi masing-masing.
Ritual ini sudah menjadi budaya masyarakat setempat, sehingga tidak perlu ada pemberitahuan secara luas untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Masyarakat akan langsung melaksanakannya di waktu yang telah ditetapkan.
Ngumbai merupakan replikasi dari kebudayaan hindu aliran Bhairawa yang dianut Kerajaan Sekala Brak Kuno pada abad ketiga Masehi yang kala itu di bawah kepemimpinan Raja Buay Tumi dan pemimpin terakhirnya adalah Ratu Sekekhummong.
Namun, setelah Islam masuk melalui Paksi Pak Sekala Brak ritual Ikhau berubah menjadi 'Ngumbai'. Warga pekon bukan mempersembahkan seorang gadis melainkan hewan kurban dalam rangka memohon keberkahan bagi panen kopi pekon.
Tak hanya dari budaya Ngumbai dan kebiasaan wajib menyajikan kopi sebagai minuman selamat datang bagi tamu yang berkunjung ke setiap rumah warga Lampung Barat, tapi warga lokal memiliki beragam perbendaharaan kata atau kosakata, sebutan hingga cara mengelola tanaman kopi yang dilakukan sejak tempo dulu.
Tuagh Saghak, yang terdiri dari kata Tuagh yaitu menebang dan Saghak merobek, merupakan cara lama para petani di Lampung Barat dalam merawat tanaman kopinya, meski kini sudah tidak digunakan karena dinilai kurang maksimal meningkatkan produktivitas tanaman kopi. Cara itu tetap diceritakan kepada siapa saja yang ingin belajar budi daya kopi Lampung Barat sebagai bentuk menjaga cara-cara tradisional tersebut.
Salah seorang pensiunan guru yang telah menjadi petani kopi sejak 1983, H Muhammad Pesi, menjelaskan bahwa masyarakat di Lampung Barat tidak bisa melepaskan kopi dari kehidupannya sebab telah banyak memberikan kontribusi bagi kehidupan mereka.
“Melalui kopi ini kita bisa menyekolahkan anak sampai sarjana, bisa beli rumah. Karena sudah jadi bagian dari kehidupan sampai setiap proses pengelolaan dan pengolahan kopi ada Bahasa Lampung-nya sendiri,” ujar pria yang telah berusia senja dengan logat Lampung kental.
"Semua ada Bahasa Lampung-nya, karena sangat pentingnya kopi bagi kami. Rumah pun telah diperhitungkan selalu memiliki pekarangan depan yang luas untuk menjemur kopi," tambahnya.
Potensi sebuah komoditas akan terus melekat kepada kehidupan masyarakatnya karena dampak positif yang diberikan. Hal itu berpotensi untuk dikembangkan menjadi komodifikasi budaya guna menarik wisatawan ke daerah tersebut sembari tetap melestarikan budayanya. Kopi dan budaya masyarakat Lampung Barat, seperti sudah tak bisa terpisahkan,