Mereka tak punya pilihan di "negeri asap"
4 Maret 2014 20:02 WIB
Pengungsi Kebakaran Lahan Beberapa anak pengungsi korban kebakaran lahan bermain di tenda pengungsian, Desa Barak Aceh, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin (3/3). (ANTARA FOTO/FB Anggoro).
Pekanbaru (ANTARA News) - "Kami hanya orang kecil, tidak punya pilihan selain harus rela hidup bersama asap dan kebakaran hutan."
Raut wajah lelah Sutriyatno (45) tampak jelas ketika Antara menyambangi lokasi pengungsian di daerah Barak Aceh Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, awal Maret 2014.
Di tempat itu ada 221 orang warga yang sudah lebih dari 10 hari mengungsi akibat kabut asap pekat dan kebakaran lahan.
Masih segar di ingatan Sutriyatno kejadian mengerikan saat rumahnya di Dusun Bukit Lengkung terkepung kebakaran lahan pada dua pekan lalu. Malam itu ia tinggal sendiri karena istri dan anaknya sudah mengungsi.
Entah berasal dari mana asal api dengan cepat merambat di bawah permukaan gambut, dan bagaikan membakar lapisan kapas menjalar hingga tinggal 10 meter dari rumahnya.
Asap pekat saat itu membuat dirinya sesak nafas seperti tercekik, namun ia tetap berusaha mempertahankan rumah berbekal peralatan seadanya.
"Hanya dengan mesin air kecil saya mengambil selang dan menyiramkan air disekeliling rumah. Dalam hati saya berdoa, Ya Tuhan Allah tolong jangan biarkan rumah saya terbakar," kata Sutriyatno.
Seakan doanya langsung terkabul, ia mengatakan arah angin langsung berubah arah. "Angin langsung berubah arah menjauh dari rumah, seperti ada mukjizat," katanya.
Meski begitu, penderitaan Supriyatno belumlah reda karena satu dari dua hektare kebun kelapa sawitnya sudah hangus terbakar. Padahal, tanaman sawitnya itu masih berumur lima tahun dan baru saja mulai berbuah.
Ia mengatakan 130 pohon sawit di sehektare lahannya sudah ludes terbakar.
Api juga membakar lahannya pada tahun lalu. Namun, ia mengatakan tidak punya pilihan karena tak punya cukup biaya untuk pindah dari tempat itu.
"Tahun lalu terbakar, sekarang terbakar lagi. Padahal belum lagi balik modal, sudah merugi lagi tahun ini," katanya.
Hampir sepekan terakhir ia mengaku harus berjibaku mencegah api merambat kerumahnya hingga nyaris tak tidur.
Satu-satunya hiburan dan tempat untuk menghirup udara lebih segar adalah saat menemui istri dan anaknya yang baru berusia delapan tahun di pengungsian.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Bengkalis, M. Jalal, mengatakan jumlah pengungsi di Bengkalis kini mencapai 221 jiwa.
Kebakaran di Tanjung Leban juga menghanguskan empat rumah dan sebagian bangunan kelas di sebuah sekolah di daerah itu.
Kondisi kemarau panjang dan sumber air yang mengering membuat upaya pemadaman dari darat sulit dilakukan.
"Untuk bantuan air bersih saja kami terpaksa harus membeli air dari Kota Dumai yang berjarak sekira 40 kilometer dari pengungsian. Pemadaman kebakaran juga sulit karena sumber air banyak mengering," katanya.
Sulitnya kondisi di pengungsian diakui Jalal mulai membuat warga stres, yang juga dialami oleh sejumlah anak-anak. Di antara ratusan pengungsi ada 36 balita dan 39 anak-anak yang sangat rentan terhadap paparan asap.
"Bagaimana anak-anak juga tidak stres karena sudah 10 hari lebih dipengungsian dan jauh dari rumah. Banyak pengungsi yang terserang penyakit," katanya.
Gubernur Riau telah menyatakan status Tanggap Darurat Asap sejak 26 Februari lalu.
Berdasarkan data Satgas tanggap darurat segera dibentuk namun kebakaran terlanjur meluas hingga kini mencapai 7.972 hektare yang tersebar di delapan kabupaten/kota. Kebakaran paling luas berada di Kabupaten Bengkalis mencapai 3.513 hektare.
Sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga kini sedikitnya 31.000 warga terkena penyakit akibat menghirup asap kebakaran. Mayoritas warga terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Pekatnya asap membuat upaya pemadaman Satgas Tanggap Darurat Asap untuk mengirimkan helikopter bom air berkali-kali gagal terbang karena jarak pandang turun drastis dan berbahaya untuk penerbangan.
"Hanya dengan hujan kebakaran ini bisa dipadamkan," kata Jalal.
Raut wajah lelah Sutriyatno (45) tampak jelas ketika Antara menyambangi lokasi pengungsian di daerah Barak Aceh Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, awal Maret 2014.
Di tempat itu ada 221 orang warga yang sudah lebih dari 10 hari mengungsi akibat kabut asap pekat dan kebakaran lahan.
Masih segar di ingatan Sutriyatno kejadian mengerikan saat rumahnya di Dusun Bukit Lengkung terkepung kebakaran lahan pada dua pekan lalu. Malam itu ia tinggal sendiri karena istri dan anaknya sudah mengungsi.
Entah berasal dari mana asal api dengan cepat merambat di bawah permukaan gambut, dan bagaikan membakar lapisan kapas menjalar hingga tinggal 10 meter dari rumahnya.
Asap pekat saat itu membuat dirinya sesak nafas seperti tercekik, namun ia tetap berusaha mempertahankan rumah berbekal peralatan seadanya.
"Hanya dengan mesin air kecil saya mengambil selang dan menyiramkan air disekeliling rumah. Dalam hati saya berdoa, Ya Tuhan Allah tolong jangan biarkan rumah saya terbakar," kata Sutriyatno.
Seakan doanya langsung terkabul, ia mengatakan arah angin langsung berubah arah. "Angin langsung berubah arah menjauh dari rumah, seperti ada mukjizat," katanya.
Meski begitu, penderitaan Supriyatno belumlah reda karena satu dari dua hektare kebun kelapa sawitnya sudah hangus terbakar. Padahal, tanaman sawitnya itu masih berumur lima tahun dan baru saja mulai berbuah.
Ia mengatakan 130 pohon sawit di sehektare lahannya sudah ludes terbakar.
Api juga membakar lahannya pada tahun lalu. Namun, ia mengatakan tidak punya pilihan karena tak punya cukup biaya untuk pindah dari tempat itu.
"Tahun lalu terbakar, sekarang terbakar lagi. Padahal belum lagi balik modal, sudah merugi lagi tahun ini," katanya.
Hampir sepekan terakhir ia mengaku harus berjibaku mencegah api merambat kerumahnya hingga nyaris tak tidur.
Satu-satunya hiburan dan tempat untuk menghirup udara lebih segar adalah saat menemui istri dan anaknya yang baru berusia delapan tahun di pengungsian.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Bengkalis, M. Jalal, mengatakan jumlah pengungsi di Bengkalis kini mencapai 221 jiwa.
Kebakaran di Tanjung Leban juga menghanguskan empat rumah dan sebagian bangunan kelas di sebuah sekolah di daerah itu.
Kondisi kemarau panjang dan sumber air yang mengering membuat upaya pemadaman dari darat sulit dilakukan.
"Untuk bantuan air bersih saja kami terpaksa harus membeli air dari Kota Dumai yang berjarak sekira 40 kilometer dari pengungsian. Pemadaman kebakaran juga sulit karena sumber air banyak mengering," katanya.
Sulitnya kondisi di pengungsian diakui Jalal mulai membuat warga stres, yang juga dialami oleh sejumlah anak-anak. Di antara ratusan pengungsi ada 36 balita dan 39 anak-anak yang sangat rentan terhadap paparan asap.
"Bagaimana anak-anak juga tidak stres karena sudah 10 hari lebih dipengungsian dan jauh dari rumah. Banyak pengungsi yang terserang penyakit," katanya.
Gubernur Riau telah menyatakan status Tanggap Darurat Asap sejak 26 Februari lalu.
Berdasarkan data Satgas tanggap darurat segera dibentuk namun kebakaran terlanjur meluas hingga kini mencapai 7.972 hektare yang tersebar di delapan kabupaten/kota. Kebakaran paling luas berada di Kabupaten Bengkalis mencapai 3.513 hektare.
Sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga kini sedikitnya 31.000 warga terkena penyakit akibat menghirup asap kebakaran. Mayoritas warga terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Pekatnya asap membuat upaya pemadaman Satgas Tanggap Darurat Asap untuk mengirimkan helikopter bom air berkali-kali gagal terbang karena jarak pandang turun drastis dan berbahaya untuk penerbangan.
"Hanya dengan hujan kebakaran ini bisa dipadamkan," kata Jalal.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014
Tags: