BI: Kebijakan makroprudensial jembatani kebijakan moneter dan mikro
27 Juli 2024 10:06 WIB
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia (BI) Nugroho Joko Prastowo dalam Media Gathering BI Jawa Timur, di Yogyakarta, Sabtu (27/7/2024). ANTARA/Astrid Faidlatul Habibah.
Yogyakarta (ANTARA) - Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia (BI) Nugroho Joko Prastowo menyatakan kebijakan makroprudensial menjembatani kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial.
“Kebijakan ini baru mulai dikenal dan dikembangkan sebagai pelajaran dari krisis keuangan global pada 2008-2009. Kebijakan ini menjembatani antara makro moneter dan mikro keuangan,” katanya dalam Media Gathering BI Jawa Timur, di Yogyakarta, Sabtu.
Nugroho menuturkan kebijakan makroprudensial masih tergolong baru di Indonesia dan belum banyak masyarakat yang mengenal dan memahami mengenai kebijakan tersebut.
Ia menjelaskan krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 menjadi salah satu penyebab lahirnya kebijakan makroprudensial di Indonesia.
Dia mengatakan jika krisis-krisis yang terjadi sebelumnya selalu didahului krisis yang sifatnya makro seperti krisis utang, krisis keuangan, dan krisis nilai tukar, maka saat krisis 2008 lebih bersifat mikro ekonomi.
Baca juga: BI perkuat makroprudensial guna dorong pertumbuhan kredit perbankan
Kondisi tersebut memerlukan suatu kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, karena walaupun indikator makro di level baik namun sistem keuangan sedang tidak sehat.
Sistem keuangan yang tidak sehat ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak, karena bank tidak berkenan memberikan kredit sehingga aktivitas ekonomi terhambat.
“Saat itu kalau bank tidak mau memberikan kredit maka pembiayaan ekonomi terhambat walaupun inflasi dan nilai tukar stabil, tapi institusi keuangan tidak sehat. Otomatis aktivitas ekonomi terhambat. Ini pelajaran krisis keuangan global,” katanya pula.
Menurut Nugroho, krisis tersebut yang pada akhirnya memberi pelajaran bahwa perlu sebuah kebijakan yang mampu menjembatani kebijakan moneter dengan kebijakan mikro yakni melalui kebijakan makroprudensial.
Terdapat tiga pilar pelaksanaan kebijakan makroprudensial, yaitu mendorong fungsi intermediasi seperti pembiayaan kredit, menjaga ketahanan sistem keuangan agar terhindar dari krisis, serta mendorong finansial inklusi dan hijau.
Nugroho menyebutkan salah satu yang paling sering dikeluarkan untuk instrumen kebijakan makroprudensial adalah mengenai down payment (DP) dalam rangka mendorong kredit.
Seperti saat COVID-19, BI mengeluarkan kebijakan makroprudensial, yakni menurunkan batas uang muka (DP) untuk pembiayaan semua kendaraan bermotor baru menjadi nol persen dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif.
Selain itu, BI juga mengubah ketentuan rasio uang muka kredit rumah (Loan to Value/LTV) kredit dan pembiayaan properti dari semula 85 persen sampai 90 persen menjadi 100 persen, sehingga pembelian rumah bebas DP.
Baca juga: BI tetap mempertahankan kebijakan makroprudensial longgar pada 2024
Baca juga: BI perkuat stimulus makroprudensial untuk genjot kredit perbankan
“Kebijakan ini baru mulai dikenal dan dikembangkan sebagai pelajaran dari krisis keuangan global pada 2008-2009. Kebijakan ini menjembatani antara makro moneter dan mikro keuangan,” katanya dalam Media Gathering BI Jawa Timur, di Yogyakarta, Sabtu.
Nugroho menuturkan kebijakan makroprudensial masih tergolong baru di Indonesia dan belum banyak masyarakat yang mengenal dan memahami mengenai kebijakan tersebut.
Ia menjelaskan krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 menjadi salah satu penyebab lahirnya kebijakan makroprudensial di Indonesia.
Dia mengatakan jika krisis-krisis yang terjadi sebelumnya selalu didahului krisis yang sifatnya makro seperti krisis utang, krisis keuangan, dan krisis nilai tukar, maka saat krisis 2008 lebih bersifat mikro ekonomi.
Baca juga: BI perkuat makroprudensial guna dorong pertumbuhan kredit perbankan
Kondisi tersebut memerlukan suatu kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, karena walaupun indikator makro di level baik namun sistem keuangan sedang tidak sehat.
Sistem keuangan yang tidak sehat ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak, karena bank tidak berkenan memberikan kredit sehingga aktivitas ekonomi terhambat.
“Saat itu kalau bank tidak mau memberikan kredit maka pembiayaan ekonomi terhambat walaupun inflasi dan nilai tukar stabil, tapi institusi keuangan tidak sehat. Otomatis aktivitas ekonomi terhambat. Ini pelajaran krisis keuangan global,” katanya pula.
Menurut Nugroho, krisis tersebut yang pada akhirnya memberi pelajaran bahwa perlu sebuah kebijakan yang mampu menjembatani kebijakan moneter dengan kebijakan mikro yakni melalui kebijakan makroprudensial.
Terdapat tiga pilar pelaksanaan kebijakan makroprudensial, yaitu mendorong fungsi intermediasi seperti pembiayaan kredit, menjaga ketahanan sistem keuangan agar terhindar dari krisis, serta mendorong finansial inklusi dan hijau.
Nugroho menyebutkan salah satu yang paling sering dikeluarkan untuk instrumen kebijakan makroprudensial adalah mengenai down payment (DP) dalam rangka mendorong kredit.
Seperti saat COVID-19, BI mengeluarkan kebijakan makroprudensial, yakni menurunkan batas uang muka (DP) untuk pembiayaan semua kendaraan bermotor baru menjadi nol persen dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif.
Selain itu, BI juga mengubah ketentuan rasio uang muka kredit rumah (Loan to Value/LTV) kredit dan pembiayaan properti dari semula 85 persen sampai 90 persen menjadi 100 persen, sehingga pembelian rumah bebas DP.
Baca juga: BI tetap mempertahankan kebijakan makroprudensial longgar pada 2024
Baca juga: BI perkuat stimulus makroprudensial untuk genjot kredit perbankan
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: