Eny Retno Yaqut sebut perkawinan anak mengancam hak dan kesehatan
26 Juli 2024 18:03 WIB
Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama RI, Eny Retno Yaqut sebagai pembicara dalam seminar dengan tema 'Cegah Kawin Anak Untuk Wujudkan Generasi Berkualitas". Bandarlampung, Jumat (26/7/2024). (ANTARA/HO-Kemenag Lampung)
Bandarlampung (ANTARA) - Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama RI, Eny Retno Yaqut menyatakan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak, dan mengancam kesehatan, pendidikan, serta perlindungan dari eksploitasi.
“Perkawinan anak, meskipun mengalami penurunan signifikan, angkanya masih cukup tinggi. Jika tidak ditangani dengan serius, akan menimbulkan permasalahan baru, bukan hanya dalam aspek kesehatan dan ekonomi, tetapi juga mental dan psikologi," katanya dalam keterangan yang diterima di Bandarlampung, Jumat.
Eny Retno Yaqut yang juga Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama RI, menjelaskan bahwa pernikahan di usia dini dapat berdampak buruk pada kesehatan anak, di mana organ reproduksi belum berkembang sempurna dan secara mental serta fisik belum siap.
“Ketidaksiapan menjadi seorang ibu dapat berdampak pada risiko kesehatan perempuan, bahkan kematian, serta meningkatkan risiko anak mengalami keterbelakangan mental, gizi buruk, dan stunting,” kata dia.
Dia juga menyoroti bahwa di daerah dengan tingkat pernikahan anak yang tinggi, seringkali terkait dengan isu-isu sosial lain seperti angka kelahiran dan kematian yang tinggi, serta tingginya angka perceraian.
“Jika belum siap berumah tangga, keluarga mudah mengalami broken home, dan anak-anak yang dilahirkan cenderung memiliki kesehatan yang buruk dan pertumbuhan stunting,” kata dia.
Dari segi sosial ekonomi, lanjut dia, pasangan yang belum siap menghadapi kehidupan rumah tangga akan mengalami kesulitan beradaptasi di masyarakat. Selain itu, secara psikologis, orang tua muda belum siap memberikan pengasuhan dan kasih sayang yang optimal kepada anak.
“Menjadi orang tua tidak ada sekolah khususnya, perlu persiapan matang. Jika tidak, akan muncul fenomena 'anak gendong anak' karena peran sebagai ibu belum optimal,” kata dia.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) Kementerian Agama RI, Kamaruddin Amin, menegaskan bahwa pernikahan anak merupakan masalah serius yang memerlukan kerja kolektif dari seluruh elemen masyarakat.
"Kami mengajak semua lapisan masyarakat untuk berkolaborasi dalam mencegah terjadinya pernikahan anak," kata dia.
Pernikahan anak dapat menimbulkan dampak sistemik yang signifikan. Salah satunya yakni angka partisipasi kasar pendidikan menengah dan tinggi, yang diprediksi akan menurun seiring dengan meningkatnya angka pernikahan anak.
"Selain itu, kualitas angkatan kerja di masa depan juga terancam, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas pembangunan nasional," kata dia.
Dirjen Bimas Islam juga menambahkan bahwa dari sisi keluarga, pernikahan dini dapat memunculkan berbagai persoalan makro yang kompleks.
"Keluarga yang kuat adalah fondasi ketahanan nasional, dan pernikahan dini dapat merusak fondasi tersebut. Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, pencegahan pernikahan dini menjadi salah satu prasyarat penting. Kita harus mempersiapkan anak-anak untuk memiliki keluarga yang kuat dan harmonis, karena keluarga adalah tempat pembentukan karakter awal anak-anak kita," kata dia.
Baca juga: Kemenag nilai Gen Z berperan penting jaga moderasi beragama
Baca juga: DWP Kemenag tekankan pentingnya "Kusemai Nilai" untuk cegah korupsi
Baca juga: DWP Kemenag nilai perlu penanaman moderasi beragama sejak dini
“Perkawinan anak, meskipun mengalami penurunan signifikan, angkanya masih cukup tinggi. Jika tidak ditangani dengan serius, akan menimbulkan permasalahan baru, bukan hanya dalam aspek kesehatan dan ekonomi, tetapi juga mental dan psikologi," katanya dalam keterangan yang diterima di Bandarlampung, Jumat.
Eny Retno Yaqut yang juga Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama RI, menjelaskan bahwa pernikahan di usia dini dapat berdampak buruk pada kesehatan anak, di mana organ reproduksi belum berkembang sempurna dan secara mental serta fisik belum siap.
“Ketidaksiapan menjadi seorang ibu dapat berdampak pada risiko kesehatan perempuan, bahkan kematian, serta meningkatkan risiko anak mengalami keterbelakangan mental, gizi buruk, dan stunting,” kata dia.
Dia juga menyoroti bahwa di daerah dengan tingkat pernikahan anak yang tinggi, seringkali terkait dengan isu-isu sosial lain seperti angka kelahiran dan kematian yang tinggi, serta tingginya angka perceraian.
“Jika belum siap berumah tangga, keluarga mudah mengalami broken home, dan anak-anak yang dilahirkan cenderung memiliki kesehatan yang buruk dan pertumbuhan stunting,” kata dia.
Dari segi sosial ekonomi, lanjut dia, pasangan yang belum siap menghadapi kehidupan rumah tangga akan mengalami kesulitan beradaptasi di masyarakat. Selain itu, secara psikologis, orang tua muda belum siap memberikan pengasuhan dan kasih sayang yang optimal kepada anak.
“Menjadi orang tua tidak ada sekolah khususnya, perlu persiapan matang. Jika tidak, akan muncul fenomena 'anak gendong anak' karena peran sebagai ibu belum optimal,” kata dia.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) Kementerian Agama RI, Kamaruddin Amin, menegaskan bahwa pernikahan anak merupakan masalah serius yang memerlukan kerja kolektif dari seluruh elemen masyarakat.
"Kami mengajak semua lapisan masyarakat untuk berkolaborasi dalam mencegah terjadinya pernikahan anak," kata dia.
Pernikahan anak dapat menimbulkan dampak sistemik yang signifikan. Salah satunya yakni angka partisipasi kasar pendidikan menengah dan tinggi, yang diprediksi akan menurun seiring dengan meningkatnya angka pernikahan anak.
"Selain itu, kualitas angkatan kerja di masa depan juga terancam, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas pembangunan nasional," kata dia.
Dirjen Bimas Islam juga menambahkan bahwa dari sisi keluarga, pernikahan dini dapat memunculkan berbagai persoalan makro yang kompleks.
"Keluarga yang kuat adalah fondasi ketahanan nasional, dan pernikahan dini dapat merusak fondasi tersebut. Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, pencegahan pernikahan dini menjadi salah satu prasyarat penting. Kita harus mempersiapkan anak-anak untuk memiliki keluarga yang kuat dan harmonis, karena keluarga adalah tempat pembentukan karakter awal anak-anak kita," kata dia.
Baca juga: Kemenag nilai Gen Z berperan penting jaga moderasi beragama
Baca juga: DWP Kemenag tekankan pentingnya "Kusemai Nilai" untuk cegah korupsi
Baca juga: DWP Kemenag nilai perlu penanaman moderasi beragama sejak dini
Pewarta: Dian Hadiyatna
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024
Tags: