Ia menjelaskan, dalam lima tahun terakhir data MVA Indonesia yang dirilis Bank Dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam data terakhir yang dirilis, angka nilai tambah manufaktur Indonesia jauh di atas negara anggota ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Vietnam yang nilai MVA hanya setengah dari Indonesia, yakni masing-masing 128 miliar dolar AS, serta 102 miliar dolar AS.
Sementara dari sisi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan I 2024 menjadi penyumbang terbesar, yaitu 17,47 persen dengan pertumbuhannya sebesar 4,64 persen.
Di sisi ekspor, nilai pengiriman produk industri pengolahan nonmigas pada semester I tahun 2024 mencapai 91,65 miliar dolar AS atau setara 73,27 persen dari total ekspor nasional, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 18,82 juta orang.
"Tren positif ini dapat kita maknai sebagai peningkatan efisiensi industri. Kondisi ini juga cerminan dari kekuatan industri dalam memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia merupakan cerminan dan gambaran dari sejauh mana kekuatan industri dalam perekonomian nasional,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan performa tersebut didorong karena Indonesia bisa memanfaatkan krisis rantai pasok (supply chain) akibat perang Rusia-Ukraina, peran dari pembangunan infrastruktur, investasi, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM).
Selain itu dirinya secara khusus memberikan perhatian mengenai respons Indonesia dalam menghadapi kondisi impor barang-barang murah yang menyerbu ke pasar domestik.
"Jika kondisi ini berlangsung terus maka lambat laun akan mematikan industri dalam negeri. Industri dalam negeri perlu lebih baik beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah perlu menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini,” katanya.
Baca juga: Menperin sebut produsen gas industri berperan dongkrakmanufaktur
Baca juga: ADB: Penguatan industri manufaktur dukung Indonesia menuju negaramaju
Baca juga: Menperin: PMI manufaktur Indonesia ekspansif 32 bulan beruntun