Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Non-Blok (GBN) sebaiknya berkonsentrasi pada masalah politik saja untuk memberikan perimbangan bagi dominasi Amerika Serikat dalam kancah politik internasional, seorang pengamat dari LIPI menyatakan. "Sebaiknya GNB berkonsentrasi di politik saja lah," kata Pengamat Hubungan Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Alfitra Salam, kepada ANTARA News di Jakarta, Rabu. Menurut dia, selama ini perjuangan ekonomi dan sosial GNB belum banyak yang terwujud, sehingga sudah saatnya GNB memusatkan perhatian pada politik saja dalam menangani isu-isu internasional. "Yang paling relevan dilakukan oleh GNB saat ini memang membahas masalah-masalah politik internasional untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat (AS)," katanya. Ada banyak masalah internasional yang saat ini memerlukan suara GNB, misal konflik di Timur Tengah, pemilihan Sekertaris Jenderal PBB, isu nuklir Iran dan upaya untuk menghentikan dominasi AS, katanya. Saat ditanya mengenai kontribusi Indonesia bagi GNB, Alfitra mengatakan sekalipun roh kekuatan Indonesia sebagai salah satu pelopor GNB masih ada, namun sumbangan nyata Indonesia tidak lagi banyak. "Secara historis Indonesia masih cukup diakui, tapi saat ini Indonesia mengalami banyak masalah di dalam negeri yang belum selesai sehingga perhatiannya tersita ke dalam," katanya. Sama saja Mengenai alih kepemimpinan GNB dari Malaysia ke Kuba pada KTT GNB di Havana, Kuba, 13-16 September 2006, Alfitra menilai tidak akan membawa kemajuan banyak pada sepak terjang GNB pada masa mendatang. "Siapapun pemimpinnya, GNB masih akan sama saja, konsep-konsepnya masih sebatas retorika dan wacana," katanya. Menurut dia, sekalipun telah berdiri puluhan tahun lalu, banyak perjuangan yang diputuskan bersama oleh para anggota GNB tidak terwujud. "Sebatas deklarasi di atas kertas saja," katanya. GNB, yang berpangkal dari Konferensi Asia Afrika 1955, telah melalui jalan berliku mulai dari keprihatinan mengenai perlombaan senjata antara AS dan bekas Uni Sovyet pada era perang dingin, hingga konflik etnik, bahkan perpecahan wilayah anggotanya sendiri, serta ancaman globalisasi saat ini. Saat konferensi GNB tahun 1964 di Kairo, Mesir, setelah pertemuan di Beograd, Yugoslavia, tahun 1961, dan dihadiri oleh 25 negara. Kala itu, 47 negara GNB mengutuk kolonialisme oleh Barat. Dalam perjalanan selanjutnya, GNB harus menyaksikan, tanpa dapat mengakhiri, berbagai konflik yang justru berkecamuk di sejumlah negara anggotanya, termasuk serangan AS ke Irak pada 2003, beberapa saat setelah KTT GNB di Malaysia. Sampai saat ini GNB beranggotakan 118 negara, meliputi musuh lama Amerika Serikat, seperti Korea Utara, Iran, Suriah dan Venezuela, sekalipun juga banyak sekutu dekatnya. Malaysia memimpin organisasi itu dari 2003 hingga 2006 sebelum digantikan oleh Kuba yang akan memimpin pada periode 2006-2009. Di Havana, Kuba, utusan dari lebih 100 negara berkembang yang bertemu, Selasa (12/9), menyerukan perundingan tanpa syarat guna menyelesaikan percekcokan sengit mengenai program nuklir Iran. Delegasi ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB selama enam hari juga mengecam Israel, tapi mencabut usul mengenai tuntutan agar negara Zionis itu dihukum atas "kejahatan perang". Para pejabat tersebut merancang resolusi terpisah mengenai Iran dan wilayah Palestina, sementara juga melunakkan rancangan dokumen akhir yang akan disahkan para kepala negara dan pemerintahan, Sabtu. (*)