Jakarta (ANTARA) - Tahun ajaran baru telah dimulai dan sejumlah sekolah kembali menyelenggarakan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), yang bertujuan membantu siswa baru agar lebih cepat beradaptasi di lingkungan baru.

Namun alih-alih menciptakan budaya saintifik dan watak ilmiah, mayoritas MPLS di sekolah yang ada masih identik dengan perpeloncoan dan jauh dari esensi utama dari tujuan MPLS.

Padahal menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah bagi Siswa Baru, prinsip utama dari MPLS adalah mengutamakan pendidikan dan kebermanfaatan, menyenangkan pelajar baru, menanamkan karakter positif, mendorong prinsip keadilan, menjunjung tinggi keselamatan dan kesehatan, mendorong prinsip keadilan, menjunjung tinggi keselamatan dan kesehatan, mendorong partisipasi siswa baru, dan yang terpenting adalah menghilangkan tindak kekerasan.

Bagi siswa baru, MPLS sangat penting untuk mengurangi kecemasan, mengenal sarana dan prasarana sekolah, membangun kekompakan dan kebersamaan, hingga memahami budaya dan nilai sekolah.

Pendiri dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal menilai MPLS dapat menjadi momentum penting dalam menanamkan budaya saintifik dan perangai ilmiah. Budaya tersebut tidak bisa sekadar dilakukan melalui perubahan kurikulum, tetapi dapat melalui "jalan ketiga" atau jalan akar rumput yang menyasar ke sekolah-sekolah pemerintah atau publik agar cepat menyebar dan membudaya di masyarakat.

"Salah satunya melalui gerakan MPLS yang menyenangkan, yang bertujuan untuk melanjutkan perjalanan perubahan pendidikan Indonesia melalui gerakan akar rumput," kata Rizal.

Budaya saintifik dan watak ilmiah jangan hanya slogan dan bersifat formalistik. Berbagai negara maju seperti, Amerika, Eropa, Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapura, dan sebentar lagi India, melesat menjadi negara adidaya di bidang inovasi teknologi dan industri karena keseriusan mereka di dalam membangun budaya sains melalui dunia pendidikan.

"Sains dapat menjadi kerangka utama bagaimana evidence based policy dilahirkan yang mendasari terbangunnya budaya meritokrasi dan integritas di bangsa mereka," imbuh dia.

Menyadari hal itu, sejak 2023 pihaknya memprakarsai gerakan aksi MPLS Menyenangkan yang mengangkat tema, “Membangun Budaya Meraki (Cinta, Jiwa, dan Kreativitas) yang diikuti oleh 1.125 sekolah di tanah air.

Pihaknya kembali menyelenggarakan gerakan aksi MPLS Menyenangkan dengan tema baru yakni, “Membangun Budaya Dialogis dan Interaksi melalui Ruang Ketiga”. Ruang ketiga bertujuan untuk membangun budaya ilmiah serta kesadaran kritis dalam menghadapi berbagai persoalan dan berbagai krisis di masa depan, termasuk potensi hilangnya nilai-nilai kemanusiaan akibat revolusi AI.

Gerakan tersebut diikuti oleh lebih dari 3.100 sekolah dari Sumatera, Kalimantan, seluruh Jawa, Bali, NTB, hingga Papua.

Tema kali ini memang berbeda dibandingkan tahun lalu, karena kami GSM memandang persoalan kekerasan, perundungan, dan kesehatan mental sebagai bagian dari persoalan yang lebih besar, yakni hilangnya budaya dan perangai ilmiah pada masyarakat
sehingga mudah terjebak dan terpolarisasi oleh berita-berita negatif, berita bohong, dan sentimen yang berlebihan yang berdampak pada munculnya friksi, ketegangan hingga kekerasan.


Ruang ketiga

Dengan terpatrinya budaya perangai ilmiah, setiap siswa diharapkan mampu memiliki filter pribadi dan dapat terus berpikir dan bersikap skeptis terhadap informasi baru. Ruang ketiga yang dimaksud adalah ruang interaksi yang setara untuk menemukan kesadaran diri dan keunikan potensi insan didik.

Ruang ketiga sendiri terdiri atas lima jenis ruang. Pertama, ada “Ruang Dialog dan Refleksi” yang membuka kesempatan bagi pihak-pihak untuk saling melakukan tanya-jawab, berpikir dan memaknai. Kedua, ada “Ruang Relaksasi dan Meditasi” untuk memusatkan pikiran dalam ketenangan. Ketiga, ada “Ruang Imajinasi dan Ekspresi”, yaitu ruang untuk daya pikir berangan-angan dan mengekspresikannya secara fisik
maupun nonfisik.

Berikutnya, ada “Ruang Solidaritas dan Persaudaraan”, yaitu ruang untuk membangun kepercayaan, kasih sayang, dan saling menghargai. Terakhir, terdapat “Ruang Berkarya dan Kebermaknaan”, yaitu ruang untuk memberi arti penting dalam kehidupan. Ruang ketiga dapat menjadi bersama bagi pemangku kepentingan, kepala sekolah, guru serta murid dan orang tua serta masyarakat untuk bersinergi menciptakan ruang pembelajaran yang melampaui sekat-sekat kelas dan mata pelajaran.

Hasilnya, siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran mereka dan di masyarakat seraya mengembangkan literasi yang penting serta dapat menjadi versi terbaik bagi dirinya.

Ruang ketiga dinilai cocok untuk diterapkan pada masa MPLS karena anak-anak cenderung membutuhkan perasaan diterima dan dianggap menjadi anggota baru secara hangat. Pemilihan dialog intensif sebagai mata acara juga mampu menghilangkan sisi monoton dari kegiatan penyambutan siswa baru.

MPLS dapat menjadi momen kebahagiaan bagi sivitas sekolah layaknya momen kelahiran yang ditunggu-tunggu dan dinantikan, tumbuh menjadi manusia dewasa yang unik dan berdaya.

Guru kelas IV dari UPTD SDN Rawabuntu 03, Eni Arumita, mengatakan penerapan ruang ketiga melalui MPLS mampu menciptakan budaya dialog yang setara dan bermakna, tidak hanya antara guru dan murid, tapi juga relasi dengan orang tua siswa.

Dampak yang terasa, sekolah tidak hanya menjadi rumah bagi murid dan juga guru, tapi juga rumah bagi orang tua. Pendidikan bukan sekadar menjadi tanggung jawab guru, melainkan merupakan tanggung jawab bersama. Melalui penanaman budaya saintifik dan perangai ilmiah, Indonesia Emas dapat terwujud.

Editor: Achmad Zaenal M