Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi diminta untuk mengatur ketentuan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) pada Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dilaksanakan tanpa didasari pertimbangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Hal itu merupakan pokok permohonan seorang dosen sekaligus advokat, Rega Felix, yang mengajukan uji materi Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

"Pada pokoknya adalah norma pasal yang diuji memberikan ruang kewenangan terlalu luas kepada pemerintah untuk memberikan IUPK secara prioritas, merugikan hak konstitusional pemohon karena ternyata pemerintah dapat memberikan IUPK secara prioritas dengan berbasis kepada ormas keagamaan," kata Rega dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu.

Menurut dia, pemberian IUPK pertambangan berbasis ormas keagamaan mengakibatkan kekayaan alam Indonesia harus dibagi berdasarkan pertimbangan golongan atau denominasi keagamaan tertentu.

Ia khawatir kondisi tersebut menimbulkan permasalahan sosial yang merugikan rakyat Indonesia yang bukan bagian dari ormas keagamaan.

"Adanya pasal dalam UU Minerba yang memberikan ruang kepada pemerintah untuk memberikan IUPK secara prioritas menyebabkan dimungkinkannya membagi-bagi kekayaan alam berbasiskan kepada golongan, bahkan berdasarkan SARA," imbuhnya.

Baca juga: Ormas bisa kelola tambang, pengamat: IUP harus melalui proses lelang

Selain itu, dia juga khawatir pemberlakuan pasal tersebut mengakibatkan perebutan sumber daya alam atas nama yang akhirnya mengakibatkan Indonesia terjebak dalam sektarianisme.

"Jika sudah terjadi sektarianisme yang memperebutkan SDA atas nama agama, Indonesia dapat masuk ke dalam jurang perpecahan yang sulit dipulihkan," katanya pula.

Bunyi Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Minerba yang diuji tersebut adalah Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, berwenang: melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas.

Sementara itu, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Minerba berbunyi: Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Lebih lanjut, Rega menyebut kebijakan penawaran WIUPK secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter kebijakan afirmatif.

Baca juga: Revisi PP Minerba buka peluang ormas agama kelola tambang batu bara

Menurut dia, makna kata "prioritas" dalam pasal yang diuji tidak memiliki batasan yang jelas.

"Berdasarkan hal tersebut, maka makna prioritas perlu diberikan tafsir konstitusional," ujar Rega.

Dalam petitumnya, Rega meminta kepada MK agar Pasal 6 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Minerba diubah menjadi: Melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Kemudian, Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Minerba dimaknai menjadi: Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi M. Guntur Hamzah dan Arsul Sani. Sebagaimana hukum acara pengujian undang-undang, hakim konstitusi memberikan nasihat kepada pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan.

Arsul Sani, salah satunya, meminta pemohon untuk memperjelas maksud permohonannya. Ia menyarankan pemohon untuk memikirkan konsekuensi yang timbul apabila permohonannya dikabulkan.

"Konsekuensi dari pemaknaan yang saudara mohon, maka pemerintah nanti, kalau dikabulkan, tidak boleh memberikan IUPK kepada masyarakat hukum adat karena berdasarkan suku. Gimana, dong?" katanya.

Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonannya selama 14 hari. Naskah perbaikan diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada 6 Agustus 2024.

Baca juga: Ahli Pemohon: UU Minerba batasi informasi dan partisipasi masyarakat
Baca juga: Kuasa Presiden: UU Minerba bertujuan beri maanfat negara-masyarakat