London (ANTARA) - Jumlah kasus kejahatan terkait kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan (violence against women and girls/VAWG) di Inggris dan Wales naik 37 persen pada periode 2018 hingga 2023, dengan satu dari setiap 12 wanita diperkirakan menjadi korban per tahunnya, demikian menurut sebuah pernyataan kepolisian nasional setempat.

Pernyataan yang dirilis oleh Dewan Kepala Kepolisian Nasional (National Police Chiefs' Council) Inggris dan College of Policing itu memperkirakan bahwa terdapat sedikitnya dua juta korban dan 2,3 juta pelaku VAWG setiap tahunnya, dan mengungkapkan bahwa kemungkinan angka sebenarnya lebih tinggi.

"Kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan mencapai level epidemi di Inggris dan Wales, dalam hal skala, kompleksitas, dan dampaknya terhadap para korban," ujar Deputy Chief Constable Maggie Blyth.

"Ini merupakan perkiraan yang konservatif mengingat kita tahu banyak tindak kejahatan yang tidak dilaporkan, dan dalam kepolisian, kita sering kali hanya melihat sebagian kecil dari fenomena tersebut (tip of the iceberg)."

Pernyataan itu menguraikan bahwa lebih dari satu juta tindak kejahatan terkait VAWG tercatat pada 2022 hingga 2023 mencakup hampir 20 persen dari semua tindak kejahatan yang didokumentasikan polisi.
Lima ancaman bahaya tertinggi utama yang diidentifikasi dalam pernyataan itu adalah kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, penguntitan, pelecehan dan eksploitasi seksual terhadap anak (child sexual abuse and exploitation/CSAE), serta VAWG yang dilakukan secara daring dan berbasis teknologi


Pernyataan itu memperkirakan bahwa terdapat lonjakan yang "mengkhawatirkan" sebesar 435 persen dalam jumlah kasus kejahatan CSAE pada periode 2013 hingga 2022 dari hanya 20.000 lebih menjadi hampir 107.000 kasus.

Pernyataan itu juga memaparkan VAWG yang dilakukan secara daring dan berbasis teknologi sebagai ancaman yang terus berkembang, sembari menyatakan bahwa sedikitnya 123.500 kasus kejahatan VAWG yang tercatat dari Agustus 2022 hingga Juli 2023 memiliki unsur daring, dan penguntitan serta pelecehan mencakup 85 persen dari seluruh kasus kejahatan yang dilakukan secara daring dan berbasis teknologi.

"Kami memerlukan dukungan dan arahan dari pemerintah untuk mengintervensi dan mengatasi permasalahan yang ada di dalam sistem peradilan pidana dan memelopori pendekatan menyeluruh terkait VAWG," tutur Blyth, seraya menambahkan bahwa VAWG merupakan "situasi darurat nasional."

Sophie Francis-Cansfield, kepala urusan eksternal di badan amal Women's Aid, menyampaikan bahwa pendekatan menyeluruh semacam itu "mencakup koordinasi antara sistem peradilan pidana, pemerintah, dan pakar, serta peningkatan pelatihan dan pendidikan, yang diberikan oleh layanan-layanan spesialis, bagi mereka yang bekerja di lembaga penegakan hukum (statutory service) seperti kepolisian."

"Tanpa kolaborasi dan tindakan yang berarti, wanita dan anak-anak akan terus dirugikan dalam hal mendapatkan perlindungan dan saat mencari keadilan atas perlakuan buruk yang mereka alami," imbuhnya.