Ekonom: Keanggotaan OECD kurangi ketergantungan RI ke China
23 Juli 2024 21:17 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann (kanan) saat konferensi pers 'Workshop Tim Nasional OECD' di Jakarta, Rabu (29/5/2024). ANTARA/Bayu Saputra/aa.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom menilai keanggotaan dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) nantinya bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap China.
“Kami melihat motif ekonomi geopolitik Indonesia ini masuk ke OECD salah satunya adalah untuk menyeimbangkan investasi dari China,” kata ekonom International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Angelika Fortuna Dewi Rusdy dalam diseminasi publik di Jakarta, Selasa.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), China konsisten menjadi mitra dagang Indonesia dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, di mana neraca dagang kedua negara telah mencapai 75,34 miliar dolar AS per Desember 2023.
Angelika Fortuna mencatat kerja sama Indonesia dengan negara-negara Barat merosot sejak kedekatan China dengan Indonesia.
Kondisi itu berpotensi membuat negara menjadi bergantung dengan China. Sementara ekonomi domestik China diperkirakan melambat dalam lima tahun ke depan, memberikan risiko terhadap stabilitas perekonomian Indonesia.
Untuk itu, ia melihat bergabungnya Indonesia ke kelompok negara-negara OECD dapat membuka peluang diversifikasi mitra serta penjajakan pasar dan investasi yang lebih luas di negara-negara dengan perekonomian besar dan maju.
Namun, Angelika menyoroti pentingnya Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap sektor ekstraktif. Penerimaan negara hingga sejauh ini masih didominasi oleh hasil ekstraksi komoditas sumber daya alam (SDA) yang ketersediaannya terbatas dengan harga yang volatil dan permintaannya sangat dipengaruhi oleh perekonomian negara-negara maju. Kondisi ini dinilai berisiko bagi Indonesia.
Menanggapi tantangan tersebut, Indonesia disarankan untuk berinvestasi lebih terhadap modal manusia (human capital) yang diiringi dengan transfer teknologi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksi dalam negeri serta mengakselerasi diversifikasi ke sektor perekonomian yang lebih berkelanjutan.
Kajian tersebut tertuang dalam dokumen berjudul “Bunga Rampai: Mengkaji Aksesi Indonesia menuju Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Perspektif Masyarakat Sipil”.
Dokumen itu disusun oleh sejumlah organisasi, di antaranya International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Migrant CARE, The PRAKARSA, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Transparency International (TI) Indonesia.
Baca juga: Ekonom sebut RI perlu perkuat tata kelola pajak untuk gabung OECD
Baca juga: Airlangga: Think tank Parlemen Eropa nilai ekonomi RI tumbuh stabil
Baca juga: Erick Thohir: Tata kelola BUMN diakui OECD
“Kami melihat motif ekonomi geopolitik Indonesia ini masuk ke OECD salah satunya adalah untuk menyeimbangkan investasi dari China,” kata ekonom International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Angelika Fortuna Dewi Rusdy dalam diseminasi publik di Jakarta, Selasa.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), China konsisten menjadi mitra dagang Indonesia dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, di mana neraca dagang kedua negara telah mencapai 75,34 miliar dolar AS per Desember 2023.
Angelika Fortuna mencatat kerja sama Indonesia dengan negara-negara Barat merosot sejak kedekatan China dengan Indonesia.
Kondisi itu berpotensi membuat negara menjadi bergantung dengan China. Sementara ekonomi domestik China diperkirakan melambat dalam lima tahun ke depan, memberikan risiko terhadap stabilitas perekonomian Indonesia.
Untuk itu, ia melihat bergabungnya Indonesia ke kelompok negara-negara OECD dapat membuka peluang diversifikasi mitra serta penjajakan pasar dan investasi yang lebih luas di negara-negara dengan perekonomian besar dan maju.
Namun, Angelika menyoroti pentingnya Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap sektor ekstraktif. Penerimaan negara hingga sejauh ini masih didominasi oleh hasil ekstraksi komoditas sumber daya alam (SDA) yang ketersediaannya terbatas dengan harga yang volatil dan permintaannya sangat dipengaruhi oleh perekonomian negara-negara maju. Kondisi ini dinilai berisiko bagi Indonesia.
Menanggapi tantangan tersebut, Indonesia disarankan untuk berinvestasi lebih terhadap modal manusia (human capital) yang diiringi dengan transfer teknologi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksi dalam negeri serta mengakselerasi diversifikasi ke sektor perekonomian yang lebih berkelanjutan.
Kajian tersebut tertuang dalam dokumen berjudul “Bunga Rampai: Mengkaji Aksesi Indonesia menuju Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Perspektif Masyarakat Sipil”.
Dokumen itu disusun oleh sejumlah organisasi, di antaranya International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Migrant CARE, The PRAKARSA, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Transparency International (TI) Indonesia.
Baca juga: Ekonom sebut RI perlu perkuat tata kelola pajak untuk gabung OECD
Baca juga: Airlangga: Think tank Parlemen Eropa nilai ekonomi RI tumbuh stabil
Baca juga: Erick Thohir: Tata kelola BUMN diakui OECD
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: