Jakarta (ANTARA) - Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mengatakan bahwa dalam perkara pengujian undang-undang yang belum berlaku, MK cenderung mengambil sikap menyatakan permohonan tersebut bersifat prematur.

"Kalau di putusan MK berkaitan dengan undang-undang yang belum berlaku, kemudian diuji, itu MK sikapnya prematur," kata Suhartoyo ketika memberi nasihat kepada kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Tapera di Ruang Sidang Panel MK, Jakarta, Selasa.

Suhartoyo mengambil contoh pertimbangan hukum MK dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Diketahui bahwa Undang-Undang KUHP yang baru belum berlaku saat ini.

Ia menjelaskan pengujian norma undang-undang yang belum berlaku terlalu dini sehingga disebut prematur.

Hal ini karena belum terpenuhinya syarat sebab akibat (causal verband) anggapan kerugian konstitusional para pemohon yang disebabkan oleh berlakunya norma undang-undang yang diuji.

"Kalau nanti dicermati, syarat-syarat kerugian hak konstitusional bahwa harus ada satu unsur yang terpenuhi adalah adanya anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki pemohon dengan berlakunya sebuah norma undang-undang. Ini norma undang-undangnya belum berlaku," kata Suhartoyo.

Baca juga: MK diminta atur ketentuan presiden kampanye pemilu hanya petahana

Apabila pemohon mendalilkan adanya kerugian hak konstitusional yang potensial, tambah dia, syaratnya pun undang-undang yang diuji harus sudah berlaku.

Pemohon dalam Perkara Nomor 76/PUU-XXII/2024 ini menguji Undang-Undang Tapera yang direncanakan mulai berlaku tahun 2027.

"Itu yang perlu dicermati nanti. Apakah mau menunggu di 2027 dulu atau sekarang tetap mau diteruskan. Silakan saja. Nanti didiskusikan lagi dengan prinsipal," kata Suhartoyo.

Namun demikian, Suhartoyo tetap mempersilakan pemohon dan kuasa hukum untuk melanjutkan permohonannya dengan menawarkan argumentasi hukum yang komprehensif.

"Kalau kuasa hukum maupun prinsipal punya argumen lain, doktrin, teori, asas yang bisa menjadi dasar untuk men-challenges (menantang, red.) pendirian MK, itu silakan. Nanti bisa jadi MK bergeser, tapi argumentasi uraian yang betul-betul komprehensif," tuturnya.

Baca juga: Mahasiswa gugat penetapan syarat usia calon kepala daerah ke MK

Permohonan tersebut diajukan oleh Bansawan, seorang pekerja lepas (freelancer). Ia menggugat Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) karena dinilai melanggar hak konstitusional jika nantinya diberlakukan.

Menurut pemohon, uang hasil jerih payahnya akan wajib diberikan kepada negara apabila Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tapera mulai diberlakukan. Padahal, tabungan merupakan sebuah pilihan, bukan kewajiban.

"Pemohon setuju dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tapera asalkan dengan keinginannya sendiri secara sukarela," ucap kuasa hukum Bansawan, Ferdian Susanto.

Atas dasar itu, pemohon meminta kepada MK agar menambahkan frasa "dengan keinginan sendiri secara sukarela" ke dalam pasal-pasal yang digugat.

Pemohon ingin Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tapera diganti menjadi: Peserta Tapera yang selanjutnya disebut Peserta adalah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan yang telah membayar simpanan, dengan keinginan sendiri secara sukarela.

Kemudian, Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tapera selengkapnya diubah menjadi: Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi Peserta, dengan keinginan sendiri secara sukarela.

Baca juga: MK gelar sidang uji materi terkait usia calon wakil kepala daerah