Program pembangunan perlu perhatikan aset budaya dan masyarakat
23 Juli 2024 18:11 WIB
Mahasiswa pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Farida Hariyati, dalam sidang doktor di IPB University, Bogor, Senin (22/7/2024). (ANTARA/Indriani)
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah maupun pengambil kebijakan perlu memperhatikan aset yang dimiliki oleh masyarakat, baik aset budaya maupun aset dasar, untuk mereduksi dampak negatif dari proses pembangunan.
"Dalam perencanaan program pembangunan perlu proses pengkajian yang matang untuk mengidentifikasi aset budaya beserta aset dasar yang dimiliki oleh masyarakat untuk mereduksi dampak negatif, misalnya memperhatikan situs budaya atau tidak menggunakan lahan produktif pertanian," ujar mahasiswa pascasarjana dari Fakultas Ekologi Manusia IPB University Farida Hariyati dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hal itu disampaikan Farida dalam promosi doktornya berjudul "Komunikasi Resiliensi Warga Terkena Dampak Proyek Bendungan Jatigede". Dalam penelitiannya Farida mengkaji dampak pembangunan Bendungan Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, yang menimbulkan implikasi negatif bagi sebagian penduduk.
Baca juga: Menteri klaim ganti rugi Waduk Jatigede 95 persen
Dalam penelitiannya, Farida menyarankan perlunya kejelasan informasi pelaksanaan pembangunan, analisis kajian risiko, dan membekali masyarakat dengan keterampilan untuk memberdayakan.
"Penundaan penyelesaian proyek pembangunan menjadi satu evaluasi bahwa setiap aktivitas pembangunan perlu dikaji dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang akan terdampak untuk mereduksi hal-hal yang berkaitan dengan ketidakpuasan masyarakat," ucapnya.
Pembangunan Bendungan Jatigede mengalami dinamika yang panjang dalam proses penyelesaian proyek, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi warga yang telah mendapatkan kompensasi pada tahun 1982 dan kembali lagi ke tempat desa asal yang telah ditetapkan sebagai area pembangunan bendungan.
Baca juga: Aher sebut warga terdampak Waduk Jatigede pahlawan pembangunan
Hasil penelitian mengungkapkan tentang proses komunikatif warga terkena dampak proyek pembangunan atau warga OTD dalam membangun resiliensi pasca-penggenangan desa atau peresmian Bendungan Jatigede pada 2015.
Proses komunikatif diawali dengan terjadinya peristiwa pemicu, dalam konteks penelitian ini adalah peristiwa penggenangan desa yang menyebabkan timbulnya ragam emosi negatif, seperti luka batin, sengsara, stres, tidak ingin pindah, bukan masalah sederhana, trauma, kaget, ingin menangis, sebagai reaksi atas kehilangan aset-aset yang dimiliki di desa asal.
"Bagi warga OTD, desa mereka bukan sekedar ruang batas geografis, namun menjadi suatu ikatan atau jejaring sosial yang telah terbangun dari generasi ke
generasi. Peneguhan identitas menjadi suatu negosiasi masa lalu (memori kolektif) dan masa kini untuk membentuk suatu identitas kolektif yaitu sebagai warga OTD dan masih dipertahankan hingga sekarang," katanya.
Baca juga: Ganti rugi dampak sosial Bendungan Jatigede dimulai
"Dalam perencanaan program pembangunan perlu proses pengkajian yang matang untuk mengidentifikasi aset budaya beserta aset dasar yang dimiliki oleh masyarakat untuk mereduksi dampak negatif, misalnya memperhatikan situs budaya atau tidak menggunakan lahan produktif pertanian," ujar mahasiswa pascasarjana dari Fakultas Ekologi Manusia IPB University Farida Hariyati dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hal itu disampaikan Farida dalam promosi doktornya berjudul "Komunikasi Resiliensi Warga Terkena Dampak Proyek Bendungan Jatigede". Dalam penelitiannya Farida mengkaji dampak pembangunan Bendungan Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, yang menimbulkan implikasi negatif bagi sebagian penduduk.
Baca juga: Menteri klaim ganti rugi Waduk Jatigede 95 persen
Dalam penelitiannya, Farida menyarankan perlunya kejelasan informasi pelaksanaan pembangunan, analisis kajian risiko, dan membekali masyarakat dengan keterampilan untuk memberdayakan.
"Penundaan penyelesaian proyek pembangunan menjadi satu evaluasi bahwa setiap aktivitas pembangunan perlu dikaji dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang akan terdampak untuk mereduksi hal-hal yang berkaitan dengan ketidakpuasan masyarakat," ucapnya.
Pembangunan Bendungan Jatigede mengalami dinamika yang panjang dalam proses penyelesaian proyek, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi warga yang telah mendapatkan kompensasi pada tahun 1982 dan kembali lagi ke tempat desa asal yang telah ditetapkan sebagai area pembangunan bendungan.
Baca juga: Aher sebut warga terdampak Waduk Jatigede pahlawan pembangunan
Hasil penelitian mengungkapkan tentang proses komunikatif warga terkena dampak proyek pembangunan atau warga OTD dalam membangun resiliensi pasca-penggenangan desa atau peresmian Bendungan Jatigede pada 2015.
Proses komunikatif diawali dengan terjadinya peristiwa pemicu, dalam konteks penelitian ini adalah peristiwa penggenangan desa yang menyebabkan timbulnya ragam emosi negatif, seperti luka batin, sengsara, stres, tidak ingin pindah, bukan masalah sederhana, trauma, kaget, ingin menangis, sebagai reaksi atas kehilangan aset-aset yang dimiliki di desa asal.
"Bagi warga OTD, desa mereka bukan sekedar ruang batas geografis, namun menjadi suatu ikatan atau jejaring sosial yang telah terbangun dari generasi ke
generasi. Peneguhan identitas menjadi suatu negosiasi masa lalu (memori kolektif) dan masa kini untuk membentuk suatu identitas kolektif yaitu sebagai warga OTD dan masih dipertahankan hingga sekarang," katanya.
Baca juga: Ganti rugi dampak sosial Bendungan Jatigede dimulai
Pewarta: Indriani
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: