Subang (ANTARA) - Ratusan petani penggarap di Kabupaten Subang, Jawa Barat, kebingungan karena diusir sekelompok orang saat menjalankan aktivitas pertanian di atas lahan garapannya di Desa Manyingsal, Kecamatan Cipunagara, Subang.


Ketua Perkumpulan Petani Penggarap Sejahtera Tani Lestari (P3STL), Asep Hartono, di Subang, Jumat menyampaikan bahwa para petani di Desa Manyingsal sudah bertahun-tahun menggarap lahan tersebut.

Lahan yang digarap itu merupakan lahan bekas PT Perkebunan Nusantara VIII atau PTPN VIII yang masa hak guna usaha-nya habis pada tahun 2002.

Ia menyebutkan, selama dua tahun atau sejak 2002-2004, lahan eks PTPN VIII itu terlantar dan tidak ada yang menggarap.

"Semak belukar dan pohon liar tumbuh subur, menjadikan lahan tidak produktif," katanya.

Kemudian mulai tahun 2004, warga yang membutuhkan penghasilan tambahan memilih untuk bertani di atas lahan tersebut.

Warga membersihkan semak belukar dan pohon liar hingga membajak tanah tersebut, kemudian ditanami berbagai tanaman.

"Kami menggarap lahan itu karena saat itu kondisinya lahan tidur. Lalu kami manfaatkan menjadi sumber penghasilan bagi keluarga kami. Ada yang menanam cabai, tebu, hingga tebu. Jadi kami memanfaatkan tanah negara itu untuk kesejahteraan kami, rakyatnya," kata Asep.

Namun di tengah aktivitas menggarap lahan tersebut, para petani menerima informasi kalau tanah yang selama ini digarap merupakan tanah yang dikuasai oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI, dengan bukti kepemilikan hak guna usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh BPN tahun 2004.

"Jadi selama kami menggarap lahan itu, seringkali mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak, mulai dari oknum aparat hingga preman, dan kami menduga kuat mereka adalah orang suruhan PT RNI. Sebab kami diminta meninggalkan lahan yang sedang kami garap. Padahal awalnya itu kami menggarap lahan yang dalam kondisi terlantar," kata dia.

Selain diintimidasi, beberapa petani juga mengalami tanamannya dirusak oleh sekelompok orang. Bahkan perusakan dilakukan dengan menggunakan alat berat.

Beberapa kali, alat berat sekelompok orang tersebut merusak dan menghancurkan tanaman tebu yang siap panen, dan para petani akhirnya gigit jari.

"Kami bertekad untuk melawan, karena kami merasa lebih berhak atas lahan itu dengan alasan kami awalnya menggarap lahan tidur," kata dia.

Para petani yang tergabung dalam P3STL kini berjumlah 170 orang dengan luas lahan yang digarap mencapai 300 hektare, dan seluruhnya berada di Desa Manyingsal, Kecamatan Cipunagara, Subang.

Sebagai upaya perlawanan yang dilakukan petani, pada Selasa (16/7) mereka mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Subang.

Mereka mempertanyakan keabsahan sertifikat HGU atas lahan yang sedang mereka garap.

"Saat ditanyakan, BPN Subang tidak mampu menjawab dengan gamblang terkait keabsahan HGU tersebut," kata dia.

Sementara itu, Engkos Kosasih, Ketua Serikat Petani Karawang (Sepetak) yang melakukan pendampingan terhadap petani di Desa Manyingsal mengatakan bahwa BPN Subang tidak dapat menjawab pertanyaan para petani terkait keabsahan HGU yang diberikan BPN Subang kepada RNI.

Disebutkan, saat ditanyakan secara langsung, pihak BPN tidak bisa menjawab terkait keabsahan HGU yang diberikan kepada RNI.

"Kenapa kami mempertanyakan HGU yang dipegang RNI? Karena para petani di Desa Manyingsal menggarap lahan tidur yang diklaim sebagai lahan yang dikuasai oleh pihak RNI," katanya.

Para petani menggarap lahan untuk aktivitas pertanian sejak tahun 2002, karena tanah tersebut selama bertahun tahun tidak digarap oleh siapapun.

Namun setelah digarap, para petani diminta meninggalkan tanah yang sedang digarapnya itu, bahkan mendapat intimidasi dari oknum aparat dan preman yang diduga orang suruhan PT RNI. (KR-MAK)