Jakarta (ANTARA) - Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Cell Report Medicine menunjukkan kaitan frekuensi buang air besar atau BAB dengan kondisi kesehatan jangka panjang seseorang.
Menurut siaran Medical Daily pada Rabu (17/7), dalam penelitian itu para peneliti mengevaluasi sekitar 1.400 orang dewasa sehat dan mendapati mereka yang jarang BAB menunjukkan gejala penurunan fungsi ginjal.
Sebaliknya, individu yang frekuensi buang air besarnya lebih banyak dari rata-rata menunjukkan tanda-tanda gangguan fungsi hati. Frekuensi BAB yang dianggap normal berkisar dari tiga kali sehari sampai tiga kali sepekan.
Dalam risetnya, para peneliti mengelompokkan peserta menjadi empat berdasarkan pola BAB mereka, yakni sembelit (satu sampai dua kali BAB per pekan), normal-rendah (tiga sampai enam kali BAB per pekan), tinggi-normal (satu sampai tiga kali BAB per hari), dan diare.
Mereka kemudian meneliti kaitan antara frekuensi BAB dengan beragam faktor, termasuk demografi, genetik, komposisi mikrobioma usus, metabolit darah, dan kimia plasma.
Baca juga: Konsumsi makanan berserat lima porsi sehari bantu cegah sembelit
Menurut siaran pers peneliti, hasil riset menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh secara signifikan berhubungan dengan frekuensi buang air besar.
Orang dengan usia yang lebih muda, perempuan, dan mereka yang punya indeks massa tubuh rendah cenderung lebih jarang BAB.
Para peneliti menunjukkan bahwa frekuensi buang air besar yang optimal sekitar satu atau dua kali sehari. Orang-orang dengan kisaran frekuensi BAB yang demikian cenderung memiliki bakteri usus yang dapat memfermentasi serat, yang umumnya dikaitkan dengan kesehatan yang baik.
Baca juga: Solusi bagi anak yang susah buang air besar
Peneliti juga mengamati bahwa orang dengan frekuensi BAB lebih sedikit memiliki lebih banyak racun yang berasal dari mikroba dalam darah karena proses fermentasi protein di usus.
Racun ini terkait dengan perkembangan penyakit dan angka kematian yang lebih tinggi pada penyakit ginjal kronis.
"Penelitian terdahulu telah menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar bisa berdampak besar pada fungsi ekosistem usus," kata Johannes Johnson-Martinez, penulis utama hasil studi.
"Secara spesifik, jika tinja menempel terlalu lama di usus, mikroba akan menggunakan semua serat makanan yang tersedia, yang mereka fermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat. Setelah itu, ekosistem beralih ke fermentasi protein, yang menghasilkan beberapa racun yang dapat masuk ke aliran darah," ia menjelaskan.
Menurut penulis hasil studi yang lain, Dr. Sean Gibbons, secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat mempengaruhi seluruh sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi buang air besar yang menyimpang dapat menjadi faktor risiko perkembangan penyakit kronis.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa frekuensi BAB yang ideal dapat diupayakan dengan mengonsumsi makanan kaya serat, memastikan hidrasi tubuh lebih baik, dan berolahraga secara teratur.
Baca juga: Langsung BAB usai makan, normalkah?
Baca juga: Ogah makan sayur tapi suka konsumsi cabai? Awas kena wasir
Frekuensi BAB berkaitan dengan kesehatan jangka panjang
18 Juli 2024 10:11 WIB
Ilustrasi - Tanda penunjuk arah toilet. ANTARA/Pexels/Hafidz Alifuddin/am.
Penerjemah: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2024
Tags: