Jakarta (ANTARA) - Pemimpin umum perusahaan pengolahan limbah tekstil Pable Indonesia Aryenda Atma mengungkapkan bahwa peningkatan kesadaran masyarakat terkait produk tekstil yang menghasilkan sisa (residu) ketika didaur ulang adalah tantangan yang dihadapi program penukaran limbah (drop box) pakaian bekas bagi pemangku ekonomi berkelanjutan.

Atma dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, mengatakan tantangan itu didapat berdasarkan pengalamannya sejak mengaplikasikan "drop box" pada berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang dari September 2022 hingga April 2024.

"Masyarakat kita itu memang betul tidak pernah membaca, walaupun sudah kami tampilkan jenis-jenis pakaian yang bisa diterima dan yang tidak, hasilnya tetap kami dapatkan di drop box itu ada residu seperti kotak pensil, tas sekolah, sajadah, mukena, bahkan bantal dan variatif pakaian seperti baju dengan payet, baju dengan aksesoris metal," kata Atma.

Baca juga: BNI ajak masyarakat sumbangkan barang tekstil lewat Empathy Drop Box

Atma mengatakan besaran residu bahkan mencapai 7 persen dari total pakaian bekas yang telah dikumpulkan. Jika diambil parameternya pengolahan sekitar 10 ton pakaian bekas dalam durasi dua tahun, artinya residu yang tidak bisa dikelola lagi (karena sulit mendaur ulangnya) mencapai 700 kilogram.

Dalam forum diskusi tersebut, disimpulkan bahwa "pekerjaan-pekerjaan di sektor lingkungan" ("green jobs") menjadi layak diperjuangkan.

Moderator Forum Diskusi Denpasar 12 edisi ke-196 Arimbi Heroepoetri mengatakan "green jobs" meliputi kegiatan 9R, diperlukan untuk menularkan prinsip-prinsip kegiatan ekonomi berkelanjutan yang efektif kepada masyarakat, mengingat potensinya menghasilkan dampak ekonomi sebesar Rp 19,3 triliun atau 5,5 persen dari PDB sektor pada 2030, menurut Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045.

Baca juga: Pemerintah akan investigasi sumber limbah konveksi di Pantai Timur

Karena, menurut forum, industri fesyen berlebihan memberi dampak yang memberatkan terhadap lingkungan, sosial-masyarakat dan ekonomi.

Dari segi lingkungan, industri fesyen yang berlebihan memberatkan dalam proses pembuatannya sampai pemasaran produk yang pada akhirnya menyumbang pada pencemaran dan menghasilkan gas rumah kaca.

Di Indonesia pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat industri tekstil masih terus berlangsung, seperti monokultur hutan dan pencemaran sungai. Penggunaan air bersih untuk industri fesyen memerlukan 93 juta meter kubik setiap tahunnya.

Baca juga: Masyarakat Desa Soropadan Temanggung keluhkan limbah pabrik tekstil

Dalam proses produksi pakaian juga tidak lepas dari isu sosial-masyarakat dan ekonomi, mengingat banyak buruh murah - termasuk pekerja anak - bekerja di industri ini dengan standar layanan minim.

Forum Diskusi Denpasar (FDD) 12 edisi ke-196 dengan tema "Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan" merupakan diskusi yang digagas oleh Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Lestari Moerdijat, dan dihadiri pemangku kepentingan baik pemerintah, para akademisi, para tokoh serta berbagai elemen masyarakat.

Turut hadir sebagai narasumber Staf Perencana Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas Asri Hadiyanti Giastuti mewakili Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Priyanto Rahmatullah, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Endang Warsiki S TP, M Si, pemerhati gaya hidup Petty S Fatimah serta Pendiri dan Pemimpin Umum PT Daur Langkah Bersama (Pable Indonesia) Aryenda Atma.

Baca juga: Universitas Pertamina kembangkan purwarupa pengolahan limbah tekstil

Baca juga: Balai Kemenperin ciptakan teknologi pengolah limbah