Dua eks Kepala Balai KA didakwa korupsi rugikan negara Rp1,15 triliun
17 Juli 2024 19:29 WIB
Sidang pembacaan dakwaan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jalur Kereta Api (KA) Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017 hingga 2023 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (17/7/2024). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)
Jakarta (ANTARA) - Dua orang mantan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara didakwa merugikan negara sebesar Rp1,15 triliun dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jalur Kereta Api (KA) Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017 hingga 2023.
Kedua pejabat tersebut, yakni Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2016-2017 Nur Setiawan serta Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2017-2018 Amanna Gappa.
"Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara senilai Rp1,15 triliun atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana dalam laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Fadil Paramajeng pada sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu.
Selain keduanya, terdapat pula dua terdakwa lain dari pihak swasta yang terjerat kasus tersebut dan disidangkan secara bersamaan, yakni Team Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna Arista Gunawan dan Beneficial Owner dari PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Prasarana Freddy Gondowardojo.
JPU mendakwa korupsi dilakukan keempat terdakwa dengan cara memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi atau dengan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan.
Dengan demikian, perbuatan keempat terdakwa diatur dan diancam pidana pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam memperkaya diri atau orang lain, JPU mengungkapkan para terdakwa telah memperkaya mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wilayah I pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara Akhmad Afif Setiawan sebesar Rp10,59 miliar, Nur Setiawan Rp3,5 miliar, serta Amanna Rp3,29 miliar.
Perbuatan korupsi juga didakwakan karena telah memperkaya mantan Kepala Seksi Prasarana pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara Rieki Meidi Yuwana sebesar Rp1,04 miliar, mantan PPK Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa Halim Hartono Rp28,13 miliar, serta Arista dan/atau PT Dardela Yasa Guna Rp12,34 miliar.
Selain itu, korupsi turut dilakukan dengan memperkaya Freddy dan/atau PT Tiga Putra Mandiri Jaya sebesar Rp64,3 miliar, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan periode 2016–2017 Prasetyo Boeditjahjono Rp1,4 miliar, serta beberapa pihak lainnya senilai total Rp1,03 triliun.
Saat melakukan korupsi proyek pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa, JPU membeberkan, Nur Setiawan memecah kegiatan menjadi 11 paket pekerjaan dengan nilai di bawah Rp100 miliar, yang bertujuan untuk menghindari ketentuan pekerjaan kompleks.
Kemudian, Nur Setiawan bersama Afif dan Rieki melakukan kegiatan pelelangan pengadaan proyek tersebut meski masih terdapat persyaratan yang belum dipenuhi.
Nur Setiawan bersama Prasetyo, Afif, Rieki, serta Freddy pun melakukan pengaturan pemenang lelang pekerjaan konstruksi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa paket BSL-1 s/d BSL-11.
JPU menjelaskan pengaturan pemenang lelang dilakukan dengan cara melakukan pertemuan dengan calon pemenang dengan memberikan informasi terkait metode kerja serta memasukkan persyaratan adanya dukungan dari perusahaan pemilik Multi Tamping Tier (MTT) yang dilengkapi dengan bukti kepemilikan dan faktur pembelian.
"Syarat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh PT Mitra Kerja Prasarana yang dimiliki Freddy Gondowardojo," ucap JPU.
JPU melanjutkan, Nur Setiawan, Afif, serta Arista juga melakukan pengaturan pemenang lelang pekerjaan supervisi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa paket JKABB-1 s/d JKABB-4, dengan cara melakukan pertemuan dengan calon pemenang, memberikan nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan memasukkan persyaratan pengalaman empat tahun terakhir.
"Pemenang lelang pekerjaan supervisi tidak melaksanakan pekerjaan supervisi dan terdapat praktik pinjam perusahaan dengan pemberian sejumlah fee," tutur JPU.
JPU melanjutkan, Amanna kemudian memerintahkan Afif untuk menandatangani kontrak dan melaksanakan pekerjaan konstruksi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa dengan menggunakan jalur yang sudah ada (eksisting).
Padahal diketahui bahwa terhadap jalur yang ada belum dilakukan kegiatan penyelidikan tanah, hasil peninjauan desain konstruksi DED-10 belum disetujui oleh Direktur Prasarana, belum ada penetapan trase, serta belum dilakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam proyek tersebut, Prasetyo, Nur Setiawan, Amanna, Akhmad Afif, Halim, dan Rieki menerima pemberian dalam betuk uang, barang dan fasilitas dari Freddy, Arista, pelaksana pekerjaan konstruksi, dan supervisi lainnya.
Uang diterima sebagai bentuk biaya komitmen atas dimenangkannya perusahaan-perusahaan tersebut dalam paket pekerjaan konstruksi dan supervisi.
Baca juga: Kejagung tetapkan tersangka baru kasus korupsi proyek jalur KA Sumut
Baca juga: Kejagung tetapkan 6 tersangka korupsi jalur KA Besitang-Langsa
Kedua pejabat tersebut, yakni Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2016-2017 Nur Setiawan serta Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara periode 2017-2018 Amanna Gappa.
"Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara senilai Rp1,15 triliun atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana dalam laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Fadil Paramajeng pada sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu.
Selain keduanya, terdapat pula dua terdakwa lain dari pihak swasta yang terjerat kasus tersebut dan disidangkan secara bersamaan, yakni Team Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna Arista Gunawan dan Beneficial Owner dari PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Prasarana Freddy Gondowardojo.
JPU mendakwa korupsi dilakukan keempat terdakwa dengan cara memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi atau dengan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan.
Dengan demikian, perbuatan keempat terdakwa diatur dan diancam pidana pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam memperkaya diri atau orang lain, JPU mengungkapkan para terdakwa telah memperkaya mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wilayah I pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara Akhmad Afif Setiawan sebesar Rp10,59 miliar, Nur Setiawan Rp3,5 miliar, serta Amanna Rp3,29 miliar.
Perbuatan korupsi juga didakwakan karena telah memperkaya mantan Kepala Seksi Prasarana pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara Rieki Meidi Yuwana sebesar Rp1,04 miliar, mantan PPK Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa Halim Hartono Rp28,13 miliar, serta Arista dan/atau PT Dardela Yasa Guna Rp12,34 miliar.
Selain itu, korupsi turut dilakukan dengan memperkaya Freddy dan/atau PT Tiga Putra Mandiri Jaya sebesar Rp64,3 miliar, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan periode 2016–2017 Prasetyo Boeditjahjono Rp1,4 miliar, serta beberapa pihak lainnya senilai total Rp1,03 triliun.
Saat melakukan korupsi proyek pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa, JPU membeberkan, Nur Setiawan memecah kegiatan menjadi 11 paket pekerjaan dengan nilai di bawah Rp100 miliar, yang bertujuan untuk menghindari ketentuan pekerjaan kompleks.
Kemudian, Nur Setiawan bersama Afif dan Rieki melakukan kegiatan pelelangan pengadaan proyek tersebut meski masih terdapat persyaratan yang belum dipenuhi.
Nur Setiawan bersama Prasetyo, Afif, Rieki, serta Freddy pun melakukan pengaturan pemenang lelang pekerjaan konstruksi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa paket BSL-1 s/d BSL-11.
JPU menjelaskan pengaturan pemenang lelang dilakukan dengan cara melakukan pertemuan dengan calon pemenang dengan memberikan informasi terkait metode kerja serta memasukkan persyaratan adanya dukungan dari perusahaan pemilik Multi Tamping Tier (MTT) yang dilengkapi dengan bukti kepemilikan dan faktur pembelian.
"Syarat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh PT Mitra Kerja Prasarana yang dimiliki Freddy Gondowardojo," ucap JPU.
JPU melanjutkan, Nur Setiawan, Afif, serta Arista juga melakukan pengaturan pemenang lelang pekerjaan supervisi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa paket JKABB-1 s/d JKABB-4, dengan cara melakukan pertemuan dengan calon pemenang, memberikan nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan memasukkan persyaratan pengalaman empat tahun terakhir.
"Pemenang lelang pekerjaan supervisi tidak melaksanakan pekerjaan supervisi dan terdapat praktik pinjam perusahaan dengan pemberian sejumlah fee," tutur JPU.
JPU melanjutkan, Amanna kemudian memerintahkan Afif untuk menandatangani kontrak dan melaksanakan pekerjaan konstruksi pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa dengan menggunakan jalur yang sudah ada (eksisting).
Padahal diketahui bahwa terhadap jalur yang ada belum dilakukan kegiatan penyelidikan tanah, hasil peninjauan desain konstruksi DED-10 belum disetujui oleh Direktur Prasarana, belum ada penetapan trase, serta belum dilakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam proyek tersebut, Prasetyo, Nur Setiawan, Amanna, Akhmad Afif, Halim, dan Rieki menerima pemberian dalam betuk uang, barang dan fasilitas dari Freddy, Arista, pelaksana pekerjaan konstruksi, dan supervisi lainnya.
Uang diterima sebagai bentuk biaya komitmen atas dimenangkannya perusahaan-perusahaan tersebut dalam paket pekerjaan konstruksi dan supervisi.
Baca juga: Kejagung tetapkan tersangka baru kasus korupsi proyek jalur KA Sumut
Baca juga: Kejagung tetapkan 6 tersangka korupsi jalur KA Besitang-Langsa
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: