"Pada Juni 2024, Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar 2,39 miliar dolar AS, menandai surplus perdagangan selama 50 bulan berturut-turut," kata Riefky di Jakarta, Rabu.
Namun, angka itu merupakan penurunan 18,30 persen month to month (mtm) dibandingkan dengan surplus 2,93 miliar dolar AS pada Mei 2024.
Riefky menuturkan penurunan neraca perdagangan disebabkan oleh penurunan ekspor dan impor secara simultan, dengan ekspor mengalami penurunan yang lebih signifikan daripada impor.
Ekspor bernilai 20,84 miliar dolar AS pada Juni 2024, turun 6,65 persen (mtm) dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan meningkat 1,17 persen year on year (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Penurunan ekspor disebabkan oleh penurunan ekspor migas dan nonmigas. Ekspor migas turun 13,24 persen (mtm) menjadi 1,23 miliar dolar AS, sedangkan ekspor nonmigas turun 6,21 persen (mtm) menjadi 19,61 miliar dolar AS.
Penurunan ekspor migas disebabkan oleh penurunan lifting minyak bumi yang mencapai rata-rata 561 ribu barel per hari pada semester I-2024, turun 7,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di antara sepuluh kontributor utama ekspor nonmigas pada Juni 2024, delapan di antaranya mencatatkan penurunan bulanan.
Bahan bakar mineral turun 1,86 persen (mtm) menjadi 3,24 miliar dolar AS, sedangkan besi dan baja turun 4,32 persen (mtm) menjadi 2,70 miliar dolar AS.
Penurunan ekspor non-migas disebabkan oleh penurunan permintaan dari mitra dagang utama Indonesia.
Penurunan impor bulanan didorong oleh penurunan impor bahan baku dan barang modal, sebagian disebabkan oleh depresiasi rupiah, yang membuat barang impor relatif lebih mahal. Impor bahan baku turun 3,41 persen (mtm) menjadi 12,36 miliar dolar AS, sementara impor barang modal turun 14,51 persen (mtm) menjadi 3,20 miliar dolar AS.
Sebaliknya, impor barang konsumsi meningkat 2,48 persen (mtm) pada Juni 2024, mencapai 1,59 miliar dolar AS.
Penurunan impor bahan baku dan barang modal tercermin dari penurunan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia yang turun menjadi 50,7 pada Juni 2024 dari 52,1 pada Mei 2024. Meskipun masih berada di wilayah ekspansif, hal itu menandai indeks terendah dalam tiga belas bulan terakhir.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) melaporkan bahwa pada semester I-2024, enam pabrik tekstil berhenti beroperasi dan empat pabrik lainnya mengurangi tenaga kerjanya karena masalah efisiensi.