Akademisi USK: Aceh jadi tempat pendaratan penyu terbesar di Indonesia
16 Juli 2024 19:53 WIB
Akademisi Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (FKP-USK) Prof Dr Nur Fadli SPi MSc saat hadir dalam seminar Aceh International Sea Turtle Festival - Protecting Sea Turtles and Their Habitats yang digelar oleh Program Studi Ilmu Kelautan FKP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa (16/7/2024). ANTARA/Khalis Surry.
Banda Aceh (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (FKP-USK) Aceh Prof Dr Nur Fadli SPi MSc menyebutkan, Aceh merupakan salah satu tempat pendaratan penyu terbesar di Indonesia, sehingga sangat dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menjaga kelestarian populasi penyu tersebut.
“Jadi salah satu pulau kita, yaitu Pulau Bangkaru di Pulau Banyak -Aceh Singkil- merupakan salah satu habitat atau tempat peneluran penyu terbesar di Indonesia,” kata Nur Fadli di Banda Aceh, Selasa.
Hal itu disampaikan Prof Nur Fadli di sela-sela mengisi seminar Aceh International Sea Turtle Festival - Protecting Sea Turtles and Their Habitats yang digelar oleh Program Studi Ilmu Kelautan FKP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Selain Pulau Bangkaru, kata Fadli, beberapa lokasi lain yang juga kerap menjadi tempat pendaratan penyu untuk bertelur seperti Pantai Aron Meubanja di Panga Aceh Jaya, dan Pulau Selaut Besar di Simeulue. Lokasi-lokasi ini juga telah menjadi kawasan konservasi penyu.
“Alhamdulillah kondisinya masih relatif terjaga, dibandingkan lokasi-lokasi lain -luar Aceh-. Memang kita Aceh masih memiliki habitat yang sangat sesuai untuk penyu,” ujarnya.
Nur Fadli juga menjelaskan, semua biota laut memiliki peran ekologis masing-masing, dan penyu salah satunya juga memiliki fungsi tersendiri untuk mengatur bagaimana kesinambungan di dalam laut.
Penyu hidup liar di laut. Namun, untuk bertelur, hewan ini membutuhkan habitat atau pantai dengan karakter khusus. Beberapa di antaranya seperti pantai yang bersih serta landai, dan habitat seperti ini banyak ditemukan di wilayah Aceh.
“Selama ini pantai indah-indah itu biasanya merupakan habitat-habitat penyu di Aceh,” ujarnya.
Namun, lanjut Prof Nur Fadli, yang menjadi ancaman saat ini ialah masih adanya perburuan telur penyu oleh masyarakat untuk konsumsi, sehingga sangat dibutuhkan kerja sama antara akademisi, aktivis konservasi penyu, masyarakat, dan bahkan pemerintah dalam menjaga kelestarian penyu.
“Kita di Aceh sebenarnya tekanannya agak berbeda dengan lokasi-lokasi lain, karena kita enggak makan daging penyu, tapi kita mengonsumsi telur penyu. Jadi kita harus lebih banyak mengurangi kegiatan pengambilan telur penyu ini, agar telur penyu bisa menetas,” katanya.
Dalam konservasi penyu, menurut dia, semua punya peran masing-masing. Akademisi dan mahasiswa berperan melalui penelitian, upaya edukasi, dan lainnya. Pegiat penyelamat penyu melalui aksi penangkaran telur dan lepas liar penyu, dan sebagainya.
“Dan masyarakat juga memiliki perannya dengan tidak membeli lagi produk-produk telur penyu, aksesoris yang terbuat dari penyu, sehingga tekanan -penurunan populasi- terhadap penyu ini juga akan semakin berkurang,” ujarnya.
“Jadi salah satu pulau kita, yaitu Pulau Bangkaru di Pulau Banyak -Aceh Singkil- merupakan salah satu habitat atau tempat peneluran penyu terbesar di Indonesia,” kata Nur Fadli di Banda Aceh, Selasa.
Hal itu disampaikan Prof Nur Fadli di sela-sela mengisi seminar Aceh International Sea Turtle Festival - Protecting Sea Turtles and Their Habitats yang digelar oleh Program Studi Ilmu Kelautan FKP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Selain Pulau Bangkaru, kata Fadli, beberapa lokasi lain yang juga kerap menjadi tempat pendaratan penyu untuk bertelur seperti Pantai Aron Meubanja di Panga Aceh Jaya, dan Pulau Selaut Besar di Simeulue. Lokasi-lokasi ini juga telah menjadi kawasan konservasi penyu.
“Alhamdulillah kondisinya masih relatif terjaga, dibandingkan lokasi-lokasi lain -luar Aceh-. Memang kita Aceh masih memiliki habitat yang sangat sesuai untuk penyu,” ujarnya.
Nur Fadli juga menjelaskan, semua biota laut memiliki peran ekologis masing-masing, dan penyu salah satunya juga memiliki fungsi tersendiri untuk mengatur bagaimana kesinambungan di dalam laut.
Penyu hidup liar di laut. Namun, untuk bertelur, hewan ini membutuhkan habitat atau pantai dengan karakter khusus. Beberapa di antaranya seperti pantai yang bersih serta landai, dan habitat seperti ini banyak ditemukan di wilayah Aceh.
“Selama ini pantai indah-indah itu biasanya merupakan habitat-habitat penyu di Aceh,” ujarnya.
Namun, lanjut Prof Nur Fadli, yang menjadi ancaman saat ini ialah masih adanya perburuan telur penyu oleh masyarakat untuk konsumsi, sehingga sangat dibutuhkan kerja sama antara akademisi, aktivis konservasi penyu, masyarakat, dan bahkan pemerintah dalam menjaga kelestarian penyu.
“Kita di Aceh sebenarnya tekanannya agak berbeda dengan lokasi-lokasi lain, karena kita enggak makan daging penyu, tapi kita mengonsumsi telur penyu. Jadi kita harus lebih banyak mengurangi kegiatan pengambilan telur penyu ini, agar telur penyu bisa menetas,” katanya.
Dalam konservasi penyu, menurut dia, semua punya peran masing-masing. Akademisi dan mahasiswa berperan melalui penelitian, upaya edukasi, dan lainnya. Pegiat penyelamat penyu melalui aksi penangkaran telur dan lepas liar penyu, dan sebagainya.
“Dan masyarakat juga memiliki perannya dengan tidak membeli lagi produk-produk telur penyu, aksesoris yang terbuat dari penyu, sehingga tekanan -penurunan populasi- terhadap penyu ini juga akan semakin berkurang,” ujarnya.
Pewarta: Khalis Surry
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024
Tags: