Penyakit akibat polusi udara bebani BPJS Kesehatan hingga Rp13 triliun
15 Juli 2024 20:58 WIB
Peserta lokakarya Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) yang bertajuk “Dampak Kesehatan Terhadap Skenario Implementasi Peningkatan Kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) Standar EURO 4/6 di Indonesia" dengan sejumlah kementerian/lembaga (K/L), di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), di Jakarta, Senin (15/7/2024). ANTARA
Jakarta (ANTARA) - Pengobatan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh polusi udara memakan biaya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sampai triliunan rupiah.
Pada 2023, penyakit pernapasan masuk ke dalam 10 besar biaya pengobatan tertinggi yang dicakup oleh BPJS Kesehatan. Biaya tersebut mencakup rawat inap maupun jalan.
"Untuk rawat jalan penyakit pernapasan ada 1,1 juta kasus. Total pembiayaannya Rp431 miliar. Untuk rawat inap cukup tinggi pada kasus pernapasan, yaitu Rp13,3 triliun untuk 1,7 juta kasus di 2013,” kata Asisten Deputi Bidang Manajemen Utilisasi BPJS Kesehatan Adian Fitria dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Fakta itu terungkap dalam lokakarya Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) yang bertajuk “Dampak Kesehatan Terhadap Skenario Implementasi Peningkatan Kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) Standar EURO 4/6 di Indonesia" dengan sejumlah kementerian/lembaga (K/L) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), di Jakarta, Senin.
Menurutnya, angka untuk penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menunjukkan tren kenaikan nasional. Untuk catatan kasus rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik, sebanyak 3,5 juta orang mengidap ISPA atau 10,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan 2022.
Data BPJS Kesehatan dari fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) mencatat tren kenaikan kasus di tingkat nasional, terlebih lagi setelah pandemi COVID-19. Untuk angka rawat jalan, rata-rata biaya sebelum pandemi senilai Rp32,9 miliar dengan 159.251 kasus. Sementara, pascapandemi angkanya meningkat menjadi Rp45,2 miliar dengan total 210.291 kasus.
Selain itu, data penderita ISPA pada 2023 di Jakarta lebih tinggi dibanding Bandung dan Surabaya. Mengambil data FKRTL puncak kasus ISPA di tiga kota, angka rawat jalan dan rawat inap di Jakarta masing-masing dapat mencapai Rp4,7 miliar untuk 19.254 kasus dan Rp16,1 miliar untuk 4.858 kasus.
Menurut dia lagi, Bandung mencatat Rp1 miliar untuk 4.186 kasus dan Rp3,9 miliar untuk 915 kasus. Sementara itu, Surabaya menembus Rp1,5 miliar untuk 7.225 kasus serta Rp6,7 miliar dan 2.182 kasus.
“Bila disandingkan dengan data kadar polusi udara, data kami menunjukkan peningkatan perawatan peserta jaminan kesehatan nasional akibat ISPA. Kami mengambil ISPA, karena secara jangka pendek, polutan-polutan ini dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan,” kata Adian.
Kepala RCCC-UI Budi Haryanto mengungkapkan, timnya sedang melakukan analisis literatur atas 5.600 riset tentang hubungan polusi udara dengan penyakit pernapasan dari seluruh dunia.
Dia berharap, temuan riset ini dan hasil lokakarya dapat menjadi salah satu langkah bagi K/L untuk bersama-sama memahami masalah penyakit pernapasan.
“Dengan data yang bisa digabungkan ini, nanti kita bisa buat model prediksi. Misalnya, berapa persen penyakit terkait polusi udara akan bertambah saat terjadi peningkatan konsentrasi particulate matter (PM)2,5,” ujar Budi pula.
Baca juga: BPJS Kesehatan pastikan Program JKN jamin layanan penyakit jantung
Baca juga: BPJS luncurkan FRISTA, inovasi digital guna efisiensi pelayanan
Pada 2023, penyakit pernapasan masuk ke dalam 10 besar biaya pengobatan tertinggi yang dicakup oleh BPJS Kesehatan. Biaya tersebut mencakup rawat inap maupun jalan.
"Untuk rawat jalan penyakit pernapasan ada 1,1 juta kasus. Total pembiayaannya Rp431 miliar. Untuk rawat inap cukup tinggi pada kasus pernapasan, yaitu Rp13,3 triliun untuk 1,7 juta kasus di 2013,” kata Asisten Deputi Bidang Manajemen Utilisasi BPJS Kesehatan Adian Fitria dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Fakta itu terungkap dalam lokakarya Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) yang bertajuk “Dampak Kesehatan Terhadap Skenario Implementasi Peningkatan Kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) Standar EURO 4/6 di Indonesia" dengan sejumlah kementerian/lembaga (K/L) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), di Jakarta, Senin.
Menurutnya, angka untuk penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menunjukkan tren kenaikan nasional. Untuk catatan kasus rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik, sebanyak 3,5 juta orang mengidap ISPA atau 10,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan 2022.
Data BPJS Kesehatan dari fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) mencatat tren kenaikan kasus di tingkat nasional, terlebih lagi setelah pandemi COVID-19. Untuk angka rawat jalan, rata-rata biaya sebelum pandemi senilai Rp32,9 miliar dengan 159.251 kasus. Sementara, pascapandemi angkanya meningkat menjadi Rp45,2 miliar dengan total 210.291 kasus.
Selain itu, data penderita ISPA pada 2023 di Jakarta lebih tinggi dibanding Bandung dan Surabaya. Mengambil data FKRTL puncak kasus ISPA di tiga kota, angka rawat jalan dan rawat inap di Jakarta masing-masing dapat mencapai Rp4,7 miliar untuk 19.254 kasus dan Rp16,1 miliar untuk 4.858 kasus.
Menurut dia lagi, Bandung mencatat Rp1 miliar untuk 4.186 kasus dan Rp3,9 miliar untuk 915 kasus. Sementara itu, Surabaya menembus Rp1,5 miliar untuk 7.225 kasus serta Rp6,7 miliar dan 2.182 kasus.
“Bila disandingkan dengan data kadar polusi udara, data kami menunjukkan peningkatan perawatan peserta jaminan kesehatan nasional akibat ISPA. Kami mengambil ISPA, karena secara jangka pendek, polutan-polutan ini dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan,” kata Adian.
Kepala RCCC-UI Budi Haryanto mengungkapkan, timnya sedang melakukan analisis literatur atas 5.600 riset tentang hubungan polusi udara dengan penyakit pernapasan dari seluruh dunia.
Dia berharap, temuan riset ini dan hasil lokakarya dapat menjadi salah satu langkah bagi K/L untuk bersama-sama memahami masalah penyakit pernapasan.
“Dengan data yang bisa digabungkan ini, nanti kita bisa buat model prediksi. Misalnya, berapa persen penyakit terkait polusi udara akan bertambah saat terjadi peningkatan konsentrasi particulate matter (PM)2,5,” ujar Budi pula.
Baca juga: BPJS Kesehatan pastikan Program JKN jamin layanan penyakit jantung
Baca juga: BPJS luncurkan FRISTA, inovasi digital guna efisiensi pelayanan
Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: