Bogor (ANTARA News) - Pakar keuangan dan perbankan Syariah, Muhammad Syafii Antonio, menilai manajemen penyelenggaraan haji saat ini sudah mulai baik dari sebelumnya sehingga layak diapresiasi.

"Hanya saja, pemikiran pemimpin saat ini haji dianggap bisnis yang biasa, sehingga belum ada terobosan yang fundamental di penyelenggaraan haji di negara kita," kata Syafii dalam diskusi umum dengan tema reformasi haji yang digelar di Mesjid Andalusia, Kampus STEI Tazkia, Sentul, Kabupaten Bogor, Selasa.

Menurut Syafii, niatan Menteri Agama agar Indonesia memiliki pesawat haji harus diaminkan dan bisa menjadi kenyatakan. Ia berkeyakinan negara mampu menyewa pesawat untuk haji, dimana pesawat tersebut nantinya dapat disewakan kembali sepanjang tahun untuk pemberangkatan umroh.

Selain itu, Syafii juga mengatakan hendaknya penyelenggara haji mampu mengelola dana haji dengan mengembangkan bisnis pendukung seperti perhotelan atau pemondokan yang bisa digunakan saat musim haji lalu musim umroh.

Terkait usaha hotel dan pemondokan haji, Syafii mencontohkan beberapa rekannya yang memiliki hotel menyewakan lagi hotelnya kepada penyelenggara haji dan umroh, dan beberapa travel yang tergabung dalam konsorsium mengirimkan 3.000 hingga 5.000 jemaahnya sehingga hotel tersebut penuh sepanjang tahun.

Menurut Syafii, jika Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh mampu menyewa hotel di dekat masjidil harom dalam jangka panjang, dan dikelola sendiri sehingga keuntungan akan bisa dinikmati bersama-sama.

"Sebagai contoh, jika maneger marketingnya tergantung dari mana asalnya, ada semacam rasa kedaerahan, apabila penginapan yang berada dekat Mekkah itu hanya tersisa satu kamar, sementara yang datang ada dari berbagai negara, tentu dia memilih orang dari negaranya," katanya.

"Jika kita yang mengelolannya, selain bisa menyewakan kepada orang lain, tentu jemaah kita akan lebih didahulukan, tetap dengan membayar."

Syafii mengungkapkan untuk mendapat alokasi penginapan atau pemondokan di tanah suci sulit karena orang-orang dari negara lain membawa uang lebih banyak dari uang orang Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut Syafii, manajemen haji sudah harus mampu mengelola dana haji sebagai usaha yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji seperti penerbangan, pemondokan dan catering.

Terkait pembentukan badan pengelolaan dana haji diluar Kementerian Agama, menurut Syafii hal tersebut merupakan ide lama yang dimunculkan kembali.

Dikatakannya, berkali-kali siapapun yang akan melaksanakan ide tersebut akan mendapat pertentangan dari orang depannya. Tetapi jika kebijakan pembentukan lembaga atau badan pengelolaan dana haji tersebut langsung dari Presiden berupa instruksi maka sifatnya lintas sektoran maka memungkinkan dibentuknya perombakan kabinet Menteri Agama tanpa penyelenggara haji.

Syafii mengingatkan, bahwa dana abadi haji sebesar Rp60 triliun bila dibawa ke properti tidak cukup karena nilainya sangat sedikit. Bila diukur dengan lahan di kawasan Sentul nilainya mencapai triliuan maka angka 60 triliun hanya memilik 60 gedung saja.

"Jadi angka itu tidak besar, jadi sedang saja. Sehingga penting tidaknya punya lembaga sendiri. Yang terpenting, siapa yang akan mengelola, apa visinya, kewenanganan apa dan bagaimana manajemen pengelolaan dan pertanggungjawabannya seperti apa, jika itu pesannya oke. Tapi kalau hanya sekedar dipisah tanpa jelas kewenangan tidak akan ada perubahan," ujarnya.

Namun, Syafii menambahkan, beberapa negara memang memisahkan antara kementerian urusan agaman, dan pendidikah keagamaan, dan haji berjalan sendiri. Sehingga penyelenggara haji tersebut hanya mengurusi penyelenggaraan dan tabungan, tidak mengurus agama dan pendidikan maupun kerukunan antar umat beragama.

"Dengan demikian badan ini akan fokus memikirkan tabungan haji, bagaiaman pemondokan, bagaimana transport, catering dan visa. Sehingga punya energi untuk memikirkan aset-aset sendiri dan lebih fokus," ujarnya.

(KR-LR/F006)