New York City (ANTARA) - Bank terbesar di Amerika Serikat, JPMorgan Chase, membukukan laba kuartal kedua (Q2) 2024 yang lebih baik dari perkiraan berkat keuntungan besar dari saham Visa, peningkatan biaya perbankan investasi, biaya manajemen aset, dan pendapatan bunga bersih.

Menurut rilis yang dikeluarkan oleh raksasa perbankan tersebut, Jumat (12/7), JPMorgan Chase meraup pendapatan bersih sebesar 18,15 miliar dolar AS pada Q2 2024 atau meningkat 35 persen dari kuartal sebelumnya dan naik 25 persen dari periode yang sama tahun 2023.

JPMorgan Chase membukukan laba per saham (earnings per share/EPS) yang disesuaikan sebesar 4,26 dolar AS dan pendapatan sebesar 50,99 miliar dolar AS pada kuartal pertama tahun ini. Angka-angka ini lebih tinggi dari perkiraan para analis yang masing-masing sebesar 4,19 dolar AS per saham dan 49,87 miliar dolar AS.

Namun demikian, jika pendapatan satu kali (one-time income) terkait saham Visa dikecualikan, JPMorgan Chase akan mengalami penurunan pendapatan bersih pada kuartal tersebut.

JPMorgan Chase mencatatkan keuntungan bersih sebesar 7,9 miliar dolar AS dari konversi saham Visa yang dimilikinya, serta 1 miliar dolar AS dari donasi saham Visa untuk mendanai kontribusi awal ke yayasan JPMorgan pada Q2.
Logo perusahaan JPMorgan Chase & Co. terpampang di sebuah pintu masuk kantor pusat perbankan tersebut di New York, Amerika Serikat, pada 1 Mei 2023. (Xinhua/Michael Nagle)

Secara khusus, JPMorgan Chase membukukan pendapatan bunga bersih sebesar 22,9 miliar dolar AS pada Q2, naik 4,5 persen secara tahunan (year on year/yoy), saat Federal Reserve terus menahan diri untuk tidak menurunkan suku bunga acuan guna mengendalikan inflasi.

JPMorgan Chase mencatatkan biaya perbankan investasi sebesar 2,3 miliar dolar AS pada Q2, melonjak 50 persen (yoy).

"Meskipun valuasi pasar dan selisih kredit tampak mencerminkan prospek ekonomi yang relatif baik, kami tetap waspada terhadap potensi risiko yang mungkin terjadi," kata Jamie Dimon, yang menjabat chairman sekaligus CEO JPMorgan Chase.

Dimon memperingatkan tentang situasi geopolitik yang kompleks dan berbahaya serta adanya berbagai kekuatan inflasi termasuk defisit fiskal yang besar, kebutuhan infrastruktur, restrukturisasi perdagangan, dan remiliterisasi di dunia..

Dimon menambahkan bahwa inflasi dan suku bunga mungkin akan tetap lebih tinggi dari yang diperkirakan pasar, dan dampak penuh dari pengetatan kuantitatif dalam skala sebesar ini masih belum diketahui.