Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Willy Aditya menyatakan bahwa puisi dapat menjadi medium untuk mencuci politik yang kotor.

“Presiden Ke-35 Amerika Serikat John F. Kennedy pernah berkata, kalau politik itu kotor, maka puisi akan mencucinya. Jadi puisi-puisi ini memang harus hadir ketika politik kita hanya diisi oleh intrik dan kekuasaan,” kata Willy saat menghadiri peluncuran buku puisi karya Penyair Frans Ekodhanto Purba berjudul “Monolog Hujan”, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu.

Ia mencontohkan salah satu puisi Frans yang berjudul “Jakarta dalam Nasi Kotak”, yang merepresentasikan bagaimana demokrasi dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan.

“Dalam puisi tersebut, Frans berusaha menyampaikan bahwa demokrasi saat ini dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan, melainkan karena faktor siapa yang bayar,” ucapnya.

Baca juga: Penyair Frans Purba ajak pembaca peka lingkungan lewat "Monolog Hujan"

Ia juga mengemukakan, sastra dapat menjadi ruang untuk tetap merawat akal sehat dan kewarasan masyarakat di tengah demokrasi di Indonesia yang menuntut keberpihakan.

“Kalau kita mau melawan bungkus (kekuasaan) yang besar, yang paling penting bagaimana akal budi dan akal sehat kita, menjaga rasionalitas dan keberpihakan kita. Frans mengajak kita ke dalam ruang yang sosio-historis, sebagai manusia yang mengalami derita kelas menengah, dan yang dihadirkan Frans tetap merawat akal budi kita,” ujarnya.

Sementara itu, Frans Ekodhanto Purba mengemukakan bahwa karya terbarunya tersebut tidak berusaha mengajak masyarakat untuk memahaminya sebagai pergerakan melawan penindasan atau politik kotor, tetapi hanya sebagai sebuah ruang kontemplasi untuk saling berdiskusi.

Baca juga: Staf Khusus Presiden: Puisi bisa ungkit kepedulian lingkungan

“Silakan pembaca bebas menerjemahkan karya ini, dan silakan berdialog langsung dengan puisinya. Puisi ini adalah keseharian yang saya bawa dalam ruang kontemplasi, sebuah emosi yang bisa saya salurkan dan luapkan, dan tidak hanya emosi, kebahagiaan juga saya luapkan dalam puisi ini,” katanya.

Frans juga mengajak pembaca peka terhadap lingkungan sekitar lewat buku puisi tersebut.

“Melalui buku puisi ini, saya ingin mengajak pembaca untuk menghidupkan intuisi terhadap keseharian dan melihat kembali apa yang ada di lingkungan tempat tinggal, kerja, sekolah, kuliah, dan seterusnya,” kata dia.

Selain itu, ia juga menegaskan, peluncuran “Monolog Hujan” dapat menjadi momentum untuk meningkatkan semangat membaca dan budaya literasi masyarakat.

Baca juga: Sastra Indonesia dan puisi terus berkembang pada era modern

“Paling penting sebagai momentum untuk meningkatkan semangat membaca atau budaya literasi,” ucapnya.