Jakarta (ANTARA) - Penyair Frans Ekodhanto Purba mengajak pembaca peka terhadap lingkungan sekitar lewat buku puisi berjudul “Monolog Hujan” yang baru saja diluncurkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu.

“Melalui buku puisi ini, saya ingin mengajak pembaca untuk menghidupkan intuisi terhadap keseharian dan melihat kembali apa yang ada di lingkungan tempat tinggal, kerja, sekolah, kuliah, dan seterusnya,” katanya.

Selain itu, ia juga menegaskan melalui peluncuran “Monolog Hujan” tersebut, dapat menjadi momentum untuk meningkatkan semangat membaca dan budaya literasi masyarakat.

“Paling penting ini sebagai momentum untuk meningkatkan semangat membaca atau budaya literasi,” ucapnya.

Menurut Frans, puisi juga dapat menjadi medium untuk berkontemplasi dan menuangkan emosi-emosinya yang juga pernah memiliki profesi sebagai seorang jurnalis.

“Kita bisa berkontemplasi melalui metafora-metafora yang tertuang dalam kalimat atau larik-larik puisi. Jadi, puisi ini kurang lebih semacam cara saya merasakan dan meluapkan emosi-emosi agar tidak menjadi letupan-letupan yang tidak terkendali,” paparnya.

Baca juga: Kemendikbud: Dunia sastra RI kehilangan penyair sehebat Joko Pinurbo
Baca juga: Penyair Zawawi Imron paparkan budaya-Pancasila kepada milenial Unej


Buku puisi “Monolog Hujan” karya Frans sebagian besar menceritakan pengalamannya membaca Jakarta secara lebih dalam melalui puisi. Menurutnya, masyarakat urban saat ini mulai gagap dan keliru dalam menyikapi peradaban, perkembangan zaman, perubahan iklim, hingga perkembangan teknologi.

“Saya termasuk orang yang beruntung, karena melalui buku puisi saya bisa berdialog dengan diri sendiri, bahkan bercakap-cakap dengan banyak orang. Paling tidak, juga bisa menenangkan letupan-letupan emosi menjadi energi baik untuk kewarasan dan kesehatan,” ujar dia.

Puisi-puisi yang tertuang dalam buku “Monolog Hujan” memiliki tiga tajuk, pertama yakni sejarah, kedua, mitologi dan perjuangan, ketiga, yakni pulang.

Dalam buku puisi tersebut, ia ingin melepaskan diri dari aturan-aturan yang mengikat dalam dunia jurnalistik maupun bahasa Indonesia yang lekat dengan kebakuan.

“Kalau dalam bahasa Indonesia, setelah titik kan seharusnya dimulai dengan kata baru dengan huruf kapital, tetapi saya meluapkan saja, jadi ketika menulis ini saya tidak terkungkung. Dalam kepenulisan bahasa Indonesia, ada pakem tertentu, terkadang saya bosan dan lelah dengan yang seperti itu, maka salurannya ada di puisi, agar ini tidak menjadi jerawat,” tuturnya.