Jakarta (ANTARA) - Analis kripto Reku Fahmi Almuttaqin menilai, anomali yang terjadi di pasar kripto pasca-rilis data Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) Amerika Serikat (AS) dapat menjadi situasi yang menarik untuk dimanfaatkan oleh para investor.
“Kondisi di mana terjadi perkembangan positif yang nyata di berbagai aspek yang masih belum terlalu direspon oleh kenaikan harga aset-aset kripto di pasar ini dapat menjadi momentum untuk berburu aset-aset kripto potensial,” kata Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Aset-aset kripto dengan nilai adopsi yang solid namun secara performa harga masih belum begitu terapresiasi, menyimpan potensi menarik yang investor bisa gali lebih lanjut secara lebih seksama, yang biasanya sulit dilakukan ketika pasar bergerak pada ritme yang lebih cepat.
Data CPI AS bulan Juni yang dirilis pada Kamis (11/7) mengalami penurunan sebesar 0,1 persen, menjadi pertama kalinya sejak Mei 2020. Secara tahunan (year-on-year/yoy), CPI AS turun menjadi 3,0 persen, dari sebelumnya di angka 3,3 persen pada bulan Mei.
Reku mencatat, perkembangan dinamika inflasi AS terbaru itu telah meningkatkan ekspektasi pasar terhadap kemungkinan penurunan suku bunga The Fed pada September. Apabila pemangkasan suku bunga terjadi, hal itu berpotensi memberikan dampak positif yang signifikan bagi pasar kripto.
Kemudian, ekspektasi terhadap berlanjutnya penurunan suku bunga sebanyak dua kali atau lebih hingga pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) November juga turut meningkat.
Fahmi mengatakan, perkembangan inflasi tersebut merupakan sesuatu yang cukup penting bagi outlook pasar kripto dalam beberapa bulan ke depan.
Dengan tren inflasi yang membaik, imbuh Fahmi, maka potensi terjadinya peningkatan aliran dana segar ke pasar kripto imbas perubahan kebijakan ekonomi AS yang lebih longgar terlihat semakin dekat.
“Namun, pasar kripto yang masih sedang cukup tertekan sejak awal Juni mungkin kemudian tidak merespon perkembangan tersebut secara signifikan,” ujar dia.
Menurut Fahmi, pasar saham AS yang sejak Juni telah mengalami reli mungkin melihat perkembangan data CPI kemarin sebagai momentum profit taking sebagai upaya antisipasi menjelang musim laporan laba.
Namun, situasi tersebut sedikit berbeda dengan pasar kripto di mana Bitcoin yang pada 5 Juni berada di 70 ribu dolar AS mengalami penurunan hingga sempat menyentuh area 54 ribu dolar AS pada 5 Juli.
Meningkatnya tekanan yang dihadapi pasar kripto dalam beberapa hari terakhir juga turut tercermin dalam indeks Fear & Greed yang mengukur kondisi sentimen pasar melalui beberapa sumber data termasuk media sosial.
Fahmi menyebutkan, Indeks Fear & Greed yang dikompilasi alternative.me pada Jumat (12/7) menyentuh angka terendahnya di angka 25 yang terakhir terlihat pada 9 Januari 2023 ketika Bitcoin saat itu berada pada level harga 17.000 dolar AS, yang merupakan salah satu area harga terendahnya setelah siklus bullish 2021.
Minimnya implikasi terhadap aset kripto dari perkembangan positif yang terjadi belakangan tidak hanya terkait data CPI saja. Fahmi mencatat, pengajuan ETF Solana oleh VanEck dan 21Shares juga tidak diikuti oleh peningkatan harga token SOL yang signifikan.
“Meskipun terdapat beberapa hal yang bisa menjelaskan kondisi tersebut seperti masih relatif minimnya optimisme pelaku pasar terhadap kemungkinan disetujuinya ETF tersebut, hal itu bukan yang biasanya terjadi di pasar kripto,” kata Fahmi.
Baca juga: INDODAX: Integrasi Bitcoin ke perbankan mempercepat inklusi keuangan
Baca juga: OJK: "Influencer" kripto harus punya tanggung jawab atas tindakannya
Baca juga: OJK catat nilai transaksi kripto capai Rp49,8 triliun pada Mei 2024
Reku: Anomali pasar kripto pasca-rilis CPI jadi potensi bagi investor
12 Juli 2024 20:21 WIB
Uang kripto Bitcoin. ANTARA/REUTERS/Dado Ruvic
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024
Tags: