Mahasiswa gugat UU Pilkada ke MK, minta kampanye di kampus dibolehkan
12 Juli 2024 18:29 WIB
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sandy Yudha Pratama Hulu (kanan) dan Stefanie Gloria (kiri) saat sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Jakarta, Jumat (12/7/2024). ANTARA/HO-MK RI/am.
Jakarta (ANTARA) - Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria menggugat Undang-Undang Pilkada dengan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbolehkan kampanye di lingkungan kampus.
Para pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal tersebut berisi larangan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan dalam kampanye pemilihan kepala daerah.
“Sepanjang frasa ‘tempat pendidikan’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Sandy membacakan petitum pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Jumat.
Para pemohon meminta agar frasa tempat pendidikan dalam larangan kampanye Pilkada diganti menjadi mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Para pemohon menilai, perguruan tinggi merupakan ruang akademis untuk menguji gagasan yang ditawarkan kandidat pilkada dalam kampanye politiknya.
Menurut mereka, hadirnya ruang akademis dalam proses kampanye bisa melahirkan formulasi kampanye yang tidak minim gagasan lewat eksaminasi ide, kebenaran, objektivitas, dan moralitas yang sejalan dengan kepentingan publik.
“Hal ini bukan untuk mempolitisasi perguruan tinggi. Namun, justru untuk memberdayakan perguruan tinggi sebagai institusi demokrasi yang netral dalam ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menguji dan melahirkan calon pemimpin yang benar-benar dibutuhkan,” tutur Stefanie.
Di sisi lain, para pemohon mendalilkan bahwa pengaturan izin menyelenggarakan kampanye di tempat pendidikan yang sudah diatur dalam UU Pemilu seharusnya juga diberlakukan dalam UU Pilkada.
Dalam hal ini, Sandy dan Stefanie menyinggung Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut pada intinya memperbolehkan kampanye Pemilu dilakukan di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapatkan izin.
“Berdasarkan perkembangan hukum dan penafsiran Mahkamah mengenai tidak adanya perbedaan rezim Pemilu dengan Pilkada, maka sudah selayaknya ada koherensi dalam pengaturan izin menyelenggarakan kampanye di perguruan tinggi dalam rezim pengaturan Pemilu untuk diberlakukan sama di rezim pengaturan Pilkada,” kata Sandy.
Selain petitum dalam pokok permohonan, para pemohon juga mengajukan petitum dalam provisi. Mereka meminta agar permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 69/PUU-XXII/2024 itu diprioritaskan.
“Memberikan prioritas perkara terhadap perkara a quo atau setidak-tidaknya memutus perkara sebelum tahapan pelaksanaan kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024,” kata Sandy.
Dalam sidang itu, para pemohon secara bergantian membacakan pokok-pokok permohonan. Sidang tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Arsul Sani.
Di akhir sidang, hakim konstitusi memberikan nasihat kepada para pemohon terkait hal-hal yang perlu ditambahkan ke dalam permohonan mereka. Dua mahasiswa itu diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.
Baca juga: UU Pilkada digugat ke MK, minta calon bisa maju dengan dukungan ormas
Baca juga: Ketua MK sebut putusan sengketa Pilkada biasanya lebih progresif
Para pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal tersebut berisi larangan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan dalam kampanye pemilihan kepala daerah.
“Sepanjang frasa ‘tempat pendidikan’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Sandy membacakan petitum pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Jumat.
Para pemohon meminta agar frasa tempat pendidikan dalam larangan kampanye Pilkada diganti menjadi mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Para pemohon menilai, perguruan tinggi merupakan ruang akademis untuk menguji gagasan yang ditawarkan kandidat pilkada dalam kampanye politiknya.
Menurut mereka, hadirnya ruang akademis dalam proses kampanye bisa melahirkan formulasi kampanye yang tidak minim gagasan lewat eksaminasi ide, kebenaran, objektivitas, dan moralitas yang sejalan dengan kepentingan publik.
“Hal ini bukan untuk mempolitisasi perguruan tinggi. Namun, justru untuk memberdayakan perguruan tinggi sebagai institusi demokrasi yang netral dalam ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menguji dan melahirkan calon pemimpin yang benar-benar dibutuhkan,” tutur Stefanie.
Di sisi lain, para pemohon mendalilkan bahwa pengaturan izin menyelenggarakan kampanye di tempat pendidikan yang sudah diatur dalam UU Pemilu seharusnya juga diberlakukan dalam UU Pilkada.
Dalam hal ini, Sandy dan Stefanie menyinggung Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut pada intinya memperbolehkan kampanye Pemilu dilakukan di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapatkan izin.
“Berdasarkan perkembangan hukum dan penafsiran Mahkamah mengenai tidak adanya perbedaan rezim Pemilu dengan Pilkada, maka sudah selayaknya ada koherensi dalam pengaturan izin menyelenggarakan kampanye di perguruan tinggi dalam rezim pengaturan Pemilu untuk diberlakukan sama di rezim pengaturan Pilkada,” kata Sandy.
Selain petitum dalam pokok permohonan, para pemohon juga mengajukan petitum dalam provisi. Mereka meminta agar permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 69/PUU-XXII/2024 itu diprioritaskan.
“Memberikan prioritas perkara terhadap perkara a quo atau setidak-tidaknya memutus perkara sebelum tahapan pelaksanaan kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024,” kata Sandy.
Dalam sidang itu, para pemohon secara bergantian membacakan pokok-pokok permohonan. Sidang tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Arsul Sani.
Di akhir sidang, hakim konstitusi memberikan nasihat kepada para pemohon terkait hal-hal yang perlu ditambahkan ke dalam permohonan mereka. Dua mahasiswa itu diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.
Baca juga: UU Pilkada digugat ke MK, minta calon bisa maju dengan dukungan ormas
Baca juga: Ketua MK sebut putusan sengketa Pilkada biasanya lebih progresif
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: