Deru suara kincir serta kucuran air dari atas petak-petak tambak menyambut pengunjung saat menyambangi sebuah klaster tambak seluas 80 hektare di Karawang, Jawa Barat.
Kerumunan ikan nila berwarna cerah dengan ramah turut menyapa dan mendekati seakan mengetahui tamu yang dinanti telah tiba.
Di bawah terik Matahari, rombongan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dinakhodai Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ini menapakkan kaki saat meninjau beberapa petak tambak nila salin.Kerumunan ikan nila berwarna cerah dengan ramah turut menyapa dan mendekati seakan mengetahui tamu yang dinanti telah tiba.
Sejauh mata memandang, hanya terlihat petak-petak tambak serta rimbunan pohon mangrove yang dihinggapi kuntul, burung berkaki panjang dengan bulu putih, di salah satu sisi tambak.
Tambak yang tertata ini merupakan terobosan proyek percontohan budi daya nila salin (BINS) yang digarap di atas lahan bekas tambak udang yang dibangun era Presiden Soeharto sejak 1984 bernama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat. Proyek ini telah berhenti beroperasi sejak 1998.
Tambak yang tertata ini merupakan terobosan proyek percontohan budi daya nila salin (BINS) yang digarap di atas lahan bekas tambak udang yang dibangun era Presiden Soeharto sejak 1984 bernama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat. Proyek ini telah berhenti beroperasi sejak 1998.
Jejak-jejak tambak udang tak beroperasi itu, rupanya meninggalkan residu sehingga menjadi lahan yang terkontaminasi dan berujung menjadi lahan mangkrak selama puluhan tahun.
Hidupkan aset negara Memanfaatkan aset negara yang tak lagi berfungsi, sang nakhoda KKP lantas menyulap kawasan tambak itu sebagai lokasi budi daya ikan nila salin.
KKP memulai upaya dengan memperbarui dan menggunakan tambak ini sebagai lokasi budi daya ikan nila salin.
Nila salin tersebut merupakan terobosan pengembangan varietas nila yang dapat lebih tahan terhadap tingkat salinitas air serta tahan penyakit sehingga cocok dengan lahan tambak yang berada di daerah pesisir dengan jenis air payau. Dikutip dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ikan dengan nama komersial nila salina ini dikembangkan sejak 2013.
Dengan menggelontorkan anggaran sebesar Rp76 miliar, Trenggono membangun terobosan proyek percontohan atau yang kerap disebutnya modeling pada 2023 dengan komoditas unggulan yakni tilapia atau nila salin.
Proyek ini telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada awal Mei 2024. Kini pengelolaan dilakukan oleh Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budi Daya (BLUPPB) yang merupakan kepanjangan tangan KKP. Gelontoran anggaran itu pun lantas menyulap bekas tambak udang terbengkalai menjadi tambak yang berpotensi menghasilkan pundi-pundi rupiah serta menyerap tenaga kerja lokal.
Beberapa perubahan pun terjadi kala "tangan dingin" KKP hadir memoles proyek yang terbagi dalam empat kawasan tambak, yakni Blok A, B, C, dan D. Perubahan nyata itu meliputi perbaikan infrastruktur jalan, perkantoran, penerangan, hingga penataan kolam produksi pun dilakukan.
Produktivitas salah satu program prioritas KKP ini diproyeksikan mampu mencapai sekitar 7.020 ton per siklus atau mencapai sekitar Rp210,6 miliar dengan asumsi harga jual nila salin per kilogram Rp30.000 dengan harga pokok produksi Rp24.500 per kilogram. Dengan demikian maka keuntungan yang didapat diprediksi mencapai Rp38,6 miliar.
Benih-benih ikan nila salin hasil produksi Balai Besar Perikanan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat, yang ditebarkan itu berkualitas tinggi serta telah diberi vaksin. Nilai us ini diyakininya mampu mengembalikan modal yang digelontorkan dalam kurun waktu 3 tahun.
Nila merupakan satu dari lima komoditas unggulan yang memiliki potensi pasar internasional yang besar.
Menilik data KKP, potensi pasar global nila pada 2024 sebesar 14,46 miliar dolar AS, sedangkan proyeksi pada 2034 diperkirakan mencapai 23,02 miliar dolar AS sehingga tak heran jika komoditas ini dipilih.
Menilik data KKP, potensi pasar global nila pada 2024 sebesar 14,46 miliar dolar AS, sedangkan proyeksi pada 2034 diperkirakan mencapai 23,02 miliar dolar AS sehingga tak heran jika komoditas ini dipilih.
Adapun negara tujuan ekspor ikan nila terbesar meliputi Amerika Serikat sebesar 849 juta dolar AS; Meksiko 152 juta dolar AS; Uni Eropa; 130 juta dolar AS; Timur Tengah 128 juta dolar AS; serta Pantai Gading sebesar 73 juta dolar AS.
Dengan peluang pasar global yang terbuka lebar itu, Trenggono pun menargetkan Indonesia setidaknya memiliki satu komoditas yang jumlahnya signifikan dan bernilai tinggi, layaknya Norwegia yang dikenal dunia memiliki komoditas unggulan ikan salmon.
Presiden Joko Widodo pun sepakat dengan Trenggono untuk memanfaatkan peluang pasar global itu, yang mampu menyerap tenaga kerja atau membuka lapangan kerja baru.Dengan peluang pasar global yang terbuka lebar itu, Trenggono pun menargetkan Indonesia setidaknya memiliki satu komoditas yang jumlahnya signifikan dan bernilai tinggi, layaknya Norwegia yang dikenal dunia memiliki komoditas unggulan ikan salmon.
“Besarnya permintaan ini harus kita manfaatkan. Hal ini akan dapat membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar,” ujar Jokowi.
Dukungan dari perbankan juga siap hadir dalam di perikanan budi daya, salah satunya yakni PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang menyebut ada potensi bisnis yang besar dalam proyek modeling nila salin.
Direktur Utama bank BRI Sunarso menilai, dengan profit yang mencapai hingga Rp38 miliar maka budi daya nila salin telah menarik minat BRI untuk mendukung bisnis itu. Ke depan, bila modeling ini direplikasi oleh pelaku usaha, maka BRI akan turut serta mendukung pelaku usaha lewat pinjaman atau kredit usaha rakyat (KUR).
Menilik lebih lanjut, KKP tak berjalan sendirian dalam membangun modeling ini. Guna mengefisiensikan pakan ikan, KKP turut menggandeng perusahaan rintisan eFishery dengan menghadirkan kurang lebih 422 eFeeder aktif. Teknologi eFeeder merupakan teknologi pemberi pakan otomatis untuk ikan yang berfokus pada efisiensi pakan dan pengurangan limbah sisa pakan.
VP of Public Affair eFishery Muhammad Chairil mengatakan telah berkolaborasi dengan KKP sejak 2023 dalam mendukung keberlanjutan proyek budi daya ikan nila salin lewat teknologi eFeeder yang dimiliki.
“Kami percaya, kolaborasi antara Pemerintah dan swasta menjadi kunci untuk kemajuan industri akuakultur Indonesia,” katanya.
Teknologi itu disebut mampu mempercepat siklus panen hingga 74 hari serta meningkatkan efisiensi pakan hingga 30 persen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 persen.
Teknologi lain yang dihadirkan yakni alat pengukur yang diharapkan efektif mengukur kualitas air secara otomatis berbasis Internet of Things (IoT) Smart Water Quality Monitoring System.
Teknologi ini ditangani oleh unit bisnis sektor agrikultur dari Telkom Indonesia, Agree, yang menghadirkan fitur seperti pengukuran seketika dan peringatan jika terjadi penyimpangan dari ambang batas kualitas air yang telah ditentukan sehingga akan membantu petambak dalam mengatur budi daya.
Secara teknis, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya KKP Tb Haeru Rahayu menjelaskan, budi daya nila salin di kawasan modeling BINS Karawang ini juga mengedepankan ekologi dengan menerapkan cara budi daya ikan yang baik (CBIB) sehingga memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan dari proses budi daya dengan memperhatikan sanitasi, benih, pakan, obat ikan, bahan kimia, serta bahan biologis.
Selain dengan pemanfaatan teknologi tersebut di atas juga, modeling ini juga dilengkapi dengan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) atau dimurnikan sehingga lebih ramah lingkungan saat air limbah dibuang ke laut.
“Jadi tidak buang langsung air limbah tambak ke laut, tapi air dipurifikasi,” pungkas Tebe.
Sebuah langkah besar proyek percontohan budi daya nila salin yang bisa menjadi contoh bagi pelaku usaha untuk berinvestasi di sektor ini.
Dengan penerapan modeling yang diinisiasi KKP, diyakini tidak akan menimbulkan persoalan baru bagi lingkungan karena dalam proses budi daya dari awal hingga akhir telah ditata matang sehingga terjadi keseimbangan dari sisi ekonomi dan ekologi.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M