Jakarta (ANTARA) - "Mengadili, menjatuhkan pidana 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan kepada terdakwa Karen Agustiawan," kata Ketua Majelis Hakim Maryono dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, awal pekan lalu.
Putusan majelis hakim disambut jerit tangis anak-anak Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan yang hadir dalam persidangan dan langsung memecah keheningan Ruang Sidang Kusuma Atmaja saat itu.
Keluarga besar Karen pun langsung memeluk dan menenangkan mereka, sementara Karen berusaha tegar menerima vonis yang diberikan Majelis Hakim dan masih menyatakan pikir-pikir untuk putusan saat itu.
Apabila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), vonis Karen lebih rendah, baik dari segi lama pidana, besaran denda, maupun uang pengganti.
Dari segi lamanya pidana penjara, vonis yang dijatuhkan kepada Karen lebih ringan, yakni 9 tahun dari tuntutan 11 tahun penjara. Begitu pula dari besaran denda, yaitu hukuman denda Rp500 juta atau lebih ringan dari tuntutan yang sebesar Rp1 miliar.
Sementara itu, untuk pembayaran uang pengganti yang dituntut jaksa, majelis hakim memutuskan tak membebankan kepada Karen, tetapi kepada perusahaan Amerika Serikat (AS), Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL), senilai 113,84 juta dolar AS atau setara Rp1,77 triliun.
Corpus Christi merupakan perusahaan yang menjual gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) ke Pertamina kala itu.
Adapun jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada Corpus Christi merupakan besaran kerugian negara melalui Pertamina atas kerugian 11 kargo LNG dari CCL yang meliputi delapan kargo dengan harga jual lebih rendah dari harga beli dan tiga kargo diputuskan untuk dibayarkan biaya penangguhan (suspension fee).
Meski terlihat seperti kerugian bisnis biasa, kerugian tersebut terbukti disebabkan oleh keputusan Karen yang tidak menyertakan pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.
Karen juga tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG Corpus Christi, hingga meminta imbalan jabatan di Cheniere Energy, Inc., sebagai induk perusahaan Corpus Christi karena telah mengamankan pembelian LNG PT Pertamina dari perusahaan itu.
Komunikasi permintaan jabatan tersebut dilakukan Karen dengan pihak Blackstone sebagai salah satu pemegang saham Cheniere Energy.
Majelis Hakim menilai berdasarkan keterangan para saksi, alat bukti, barang bukti, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa, ditemukan fakta persidangan bahwa uang hasil korupsi dalam kasus pengadaan LNG Pertamina tidak mengalir ke Karen, tetapi kepada Corpus Christi.
Dalam tuntutan sebelumnya, Jaksa KPK tak hanya meminta pembayaran uang pengganti agar dibayarkan oleh Corpus Christi, namun juga kepada Karen sebesar Rp1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar karena telah memperkaya diri terkait kasus pengadaan LNG tersebut.
Akan tetapi dalam persidangan, dakwaan Karen memperkaya diri terbantahkan lantaran uang yang diterima tersebut merupakan gaji yang diterima dari Tamarind Energy Ltd melalui Blackstone setelah 6 bulan berhenti dari Pertamina.
Dalam perusahaan tersebut, Karen memperoleh jabatan sebagai penasihat senior atau senior advisor pada April 2015 hingga Desember 2015, setelah berhenti dari Pertamina pada 1 Oktober 2014.
Majelis hakim pun dalam vonisnya sependapat dengan Karen dan penasihat hukum bahwa uang yang diterima tersebut merupakan penghasilan resmi dari Blackstone.
Namun, lantaran majelis hakim tak membebankan pembayaran uang pengganti kepada Karen, KPK mengajukan banding ke pengadilan tinggi setelah beberapa hari putusan dijatuhkan.
Begitu pula dengan Karen, tim kuasa hukumnya turut mengajukan banding karena menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan sejumlah fakta yang membantah surat dakwaan saat menjatuhkan putusan.
Lintas negara
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan membebankan uang pengganti kerugian negara dalam kasus pengadaan LNG oleh Karen kepada Corpus Christi, sebuah perusahaan yang tidak berada di wilayah hukum Indonesia.
Alhasil, apakah putusan pengadilan Indonesia tersebut akan diakui di Negeri Paman Sam?
Pakar hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia bisa menggugat pembayaran uang pengganti terkait kasus Karen kepada Corpus Christi ke Pengadilan AS secara perdata, tetapi harus disertai dengan alasan yang kuat.
Pasalnya, putusan pengadilan di Indonesia, meski sudah berkekuatan hukum tetap, tidak akan diakui dan tidak bisa dilaksanakan di pengadilan negara lain, khususnya Amerika.
Suatu putusan pengadilan pada hakikatnya merupakan penjelmaan dari kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu apabila putusan itu dijalankan di negara lain, hal itu merupakan pelanggaran terhadap negara tersebut.
Aturan itu juga berlaku di Indonesia yang termuat dalam salah satu aturan hukum acara perdata, yakni Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijke stand voor Europeanen (RV).
Pasal 436 RV berbunyi suatu putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia karena putusan pengadilan negara asing itu tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Sebagai alternatif, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengatakan rencananya pihaknya memakai skema kerja sama internasional dalam mengejar uang pengganti kepada Corpus Christi, salah satunya melalui bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance/MLA).
MLA merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang (money laundering), serta termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi.
Kerja sama internasional tersebut sebelumnya sudah pernah diterapkan KPK dalam pengejaran kerugian negara di kasus korupsi Garuda Indonesia dan KTP elektronik.
Kendati demikian, ikhtiar tersebut akan membutuhkan proses cukup lama karena harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan Amerika Serikat bahwa perbuatan yang dilakukan Corpus Christi dan Karen merupakan tindak pidana korupsi.
Meskipun memakan waktu yang tidak sebentar, KPK bertekad terus mengejar uang pengganti tersebut demi mengembalikan uang rakyat itu.
Editor: Achmad Zaenal M
Artikel
Mengejar pengembalian uang atas kerugian negara dari kasus Karen
Oleh Agatha Olivia Victoria
6 Juli 2024 14:45 WIB
Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan menunggu sidang pemeriksaan saksi meringankan (a de charge) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/5/2024). ANTARA/Agatha Olivia Victoria.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Tags: