Menurut dia rekomendasi itu diberikan mengingat laporan S&P Global Market Intelligence yang menyatakan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Juni mengalami pelemahan 1,4 poin menjadi 50,7 dibandingkan bulan sebelumnya.
Lebih lanjut, Bhima menyampaikan penyebab penurunan PMI manufaktur tersebut terkait dengan naiknya biaya bahan baku karena pelemahan nilai tukar rupiah, selanjutnya masih tingginya rasio suku bunga, serta adanya tekanan inflasi bahan makanan, sehingga membuat permintaan terhadap produk industri mengalami penurunan.
Selain merekomendasikan untuk melakukan relaksasi tarif PPN, ia juga ingin pemerintah melakukan pengendalian inflasi pangan, ekspansi pasar ekspor alternatif, memberikan diskon tarif listrik 40-50 persen di jam beban puncak, serta melakukan kembali pengetatan impor.
"Impor barang jadi perlu dibatasi dengan tarif dan kebijakan non-tarif," kata dia.
Di sisi lain pakar ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyampaikan perlu adanya persiapan yang optimal bila relaksasi PPN diterapkan, mengingat apabila pajak diturunkan berpotensi mengganggu penerimaan negara yang berujung pada defisit perekonomian
"Harus kita siapkan dulu di sisi yang lainnya, karena kalau penerimaan itu turun, sementara belanja pemerintah masih diharapkan naik dengan semua program-program pemerintah, artinya defisit melebar, defisit melebar itu berarti utangnya naik," kata dia.
Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan perlunya penyesuaian pengaturan impor untuk mendongkrak optimisme pelaku industri di tanah air yang terpengaruh oleh pengetatan pasar global, serta adanya regulasi perdagangan yang kurang mendukung.
Baca juga: Menperin sebut ikut di pameran global penting guna pacu manufaktur
Baca juga: Empat produsen mobil listrik China jadikan Indonesia basis manufaktur
Baca juga: Indonesia bahas peningkatan kerja sama manufaktur dengan Turki