Jakarta (ANTARA News) - Seorang pejabat pembuat akta tanah (PPAT), Muhammad Thoha, menguji sejumlah pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, terutama aturan penempatan notaris ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Thoha menguji Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (3) UU Jabatan Notaris yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Saya menilai pemberlakuan pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya," kata Thoha, saat sidang pemeriksaan pendahuluan di MK Jakarta, Selasa.

Pasal 15 ayat (2) menyebutkan notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Sedangkan Pasal 22 ayat (3) menyebutkan ketentuan formasi jabatan notaris dan penentuan kategori daerah diatur lebih lanjut oleh peraturan menteri.

Ia menceritakan sejak dinyatakan lulus dalam ujian PPAT pada 2012, BPN menempatkan dirinya di kota Bekasi berdasarkan permohonannya, namun Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham menolak dengan alasan formasinya sudah terbatas.

"Kenapa formasi terbatas dijadikan alasan untuk menolak permohonan saya, padahal formasi jabatan notaris yang terbatas bukan syarat diterima atau ditolaknya pengajuan calon notaris," kata Thoha.

Kondisi tersebut memaksa dirinya memilih wilayah kerja di luar kota Bekasi karena menurut informasi, kalau memilih wilayah lain yang terbuka dan dirinya akan diangkat sebagai notaris saat itu juga.

Menurut dia, penerapan pasal tersebut menimbulkan dualisme pengangkatan jabatan umum dalam hal ini PPAT dan Notaris.

"Makanya, saya berharap MK membatalkan Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (3) UU Jabatan Notaris karena bertentangan dengan UUD 1945," katanya.



Tanpa jabatan notaris

Ia mengatakan jabatan PPAT tanpa jabatan notaris akan mengalami kendala teknis dan terancam gugatan perdata karena Pasal 1868 KUHPer menyebutkan salah satu syarat akta dinilai otentik, pembuatan akta itu dibuat berdasarkan undang-undang.

Sementara pembuatan akta-akta PPAT diatur dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT jo Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana PP No. 37 Tahun 1998.

"Otomatis ada celah hukum bagi saya bisa dipersoalkan apabila saya tidak diangkat sebagai notaris. Kalau memungkinkan, saya mengusulkan agar jabatan PPAT dan Notaris dilebur jadi satu, sehingga permohonan yang saya alami tidak terjadi lagi," katanya.

"Kalau sudah ada SK Pengangkatan PPAT, otomatis berhak diangkat sebagai notaris atau sebaliknya," kata Thoha.

Majelis panel yang memimpin sidang perdana ini adalah Ahmad Fadlil Sumadi sebagai ketua didamping Maria Farida dan Patrialis Akbar sebagai anggota panel.

Dalam sidang ini, Maria Farida Indrati menilai materi permohonan lebih banyak mengurai implementasi norma yang bersifat faktual, bukan persoalan konstitusionalitas norma.

"Secara faktual/konkret boleh diuraikan hal-hal yang Anda alami, tetapi jangan terlalu panjang lebar," kata Maria.

Dia menyarankan pemohon sebaiknya menguraikan alasan-alasan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan konstitusi.

"Khususnya Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal batu uji. Sebab, MK tak mengadili fakta kasus-kasus kongkrit, tetapi menguji norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945," jelasnya.

(J008)