Bogor (ANTARA News) - Burung Indonesia mengeluarkan rilis terkait keberadaan burung ibis karau (Pseudibis davisoni) yang statusnya hampir terancam punah akibat semakin berkurangnya luasan lahan basah yang menjadi habitatnya.
"Di Indonesia, persebarannya hanya di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dengan populasi saat ini sekitar 30 hingga 100 ekor dan terus menurun," ujar penggiat Bird Conservation Burung Indonesia, Jihad, melalui rilisnya yang diterima ANTARA di Bogor, Selasa.
Jihad mengatakan, Badan Konservasi Dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan statusnya kritis (Critically Endangered/CR) yang berarti satu langkah menuju kepunahan.
Dijelaskannya, ibis karau merupakan burung air memiliki ukuran tubuh 75 sentimeter dan hidup di lahan basah.
Burung penghuni lahan basah tersebut memiliki ciri berkepala botak dengan sayap dan ekor hitam mengkilap ini menyenangi daerah perairan dan hutan rawa.
Ibis karau masuk dalam suku Threskiornithidae. Suku ini mempunyai kekerabatan dengan bangau, hanya saja badannya lebih kecil dan paruhnya lebih sesuai untuk menusuk lumpur ketimbang mangsa.
"Di wilayah ini, ia (ibis karau) akan mencari makan dan bersarang," ujar Jihad.
Secara global, masih kata Jihad, dulunya burung ini terdapat di Cina bagian barat daya dan Asia Tenggara. Kini, keberadaannya terbatas hanya di Laos, Kamboja, dan Indonesia (Kalimantan Timur).
Lebih lanjut ia menjelaskan, ibis karau memiliki kebiasaan seperti ibis rokoroko (Plegadis falcinellus) yaitu hidup dalam kelompok kecil serta suka menusuk lumpur dengan paruhnya.
"Hanya saja, ibis karau lebih suka tinggal di hutan rawa dan di aliran air berhutan," ujarnya.
Jihad menambahkan, berkurangnya luasan lahan basah diakibatkan alih fungsi lahan menjadi daerah pertanian serta perburuan membuat populasi satwa ini berkurang.
"Populasi globalnya diperkirakan sekitar 650 individu dewasa," ungkapnya.
Dikatakannya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menetapkan jenis ibis karau termasuk satwa yang dilindungi.
Sementara itu, Profesor Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) turut memaparkan bahwa berdasarkan catatan "Smythies dalam The Birds of Borneo: (1981)", ibis karau pernah tercatat di Sungai Barito tahun 1836 dan Long Iram, hulu sungai Mahakam tahun 1912.
Menurutnya, bukan kebetulan, bila Guy Mountfort & Norman Arlott dalam buku "Rare Birds of the World" (1988) menyatakan jenis ini sebagai salah satu jenis burung langka di dunia.
Prof Johan mengatakan, kehadiran burung air di lahan basah sangatlah penting. Ragam jenis burung air yang datang di lahan basah pesisir dan lautan atau lahan basah buatan merupakan indikator alami kualitas lingkungan.
"Kehadiran burung air ini ada kaitannya dengan aneka pakan di habitat tersebut," ujar Prof Johan.
Profesor Johan menambahkan, keberadaan lahan basah harus mendapat perhatian serius. Pengelolaannya harus diintegrasikan secara holistik dalam berbagai program pembangunan dengan pengawasan yang ketat.
Menurutnya, hilangnya lahan basah dapat menyebabkan hilangnya ragam fungsi ekologi atau layanan ekosistem.
"Pada akhirnya, tidak hanya menyebabkan hilangnya habitat burung, tetapi kerugian pada manusia sendiri," ujarnya.
(KR-LR)
Lahan basah berkurang, ibis karau menuju kepunahan
4 Februari 2014 15:15 WIB
Burung ibis karau yang populasinya terus berkurang akibat lenyapnya lahan basah di Indonesia. (www.arkive.org)
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014
Tags: