Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Prof Syamsul Ma’arif mengatakan bahwa hubungan ulama dan umara atau pemimpin pemerintahan sudah terjalin kuat sejak lama.

Menurut dia, akrabnya kaum ulama dengan unsur pemerintahan di Indonesia sudah dimulai dari masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, imbuhnya, para kiai ikut menyerukan santri-nya untuk ikut berjihad mengusir penjajah.

"Hubungan ulama dan umara di Indonesia begitu kuat dan ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini bisa tergambar dari seruan Mbah Hasyim Asy’ari di masa perjuangan, yang berbunyi ‘hubbul wathan minal iman,’ artinya ‘cinta negara atau nasionalisme adalah bagian dari keimanan’," ucap Syamsul dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.

Ia menyebut, kedekatan kedua pihak ini bisa membawa manfaat bagi banyak orang. Oleh sebab itu, ulama yang memiliki kedekatan tertentu dengan pemerintah tidak bisa langsung dinilai sebagai kezaliman, terlebih jika menelisik akar historis simbiosis keduanya yang sudah tertanam sebelum Indonesia merdeka.

Selain itu, ia menilai belum tentu hasil akhir dari kolaborasi ulama dan pemerintah menghasilkan kemudaratan bagi rakyat. Menurutnya, kolaborasi yang terjadi menghasilkan perundang-undangan dan tata kelola negara yang lebih komprehensif karena melibatkan ulama yang menjadi corong kepentingan masyarakat.

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah periode 2022-2025 ini pun menyebutkan, eksistensi Indonesia sebagai negara multikultural turut didukung oleh para kiai dan ulama yang mampu mengakomodasi berbagai golongan budaya dan kepercayaan.

Baca juga: Muktamar Nahdlatul Ulama cermin hubungan baik ulama dan umara

Baca juga: PCI NU China ajarkan santri perkuat hubungan bilateral Indonesia-China


"Ulama moderat adalah kalangan yang lebih luwes dalam menyikapi perbedaan dan dinamika Indonesia sebagai suatu bangsa. Wajar jika kemudian dalam perkembangannya, mereka memiliki kedekatan tersendiri dengan pemerintah Indonesia. Ulama moderat tidak hanya bicara dalam koridor hukum agama semata, namun juga bisa menempatkan kaidah agama dalam bingkai kenegaraan Indonesia,”"ujarnya.

Lebih lanjut, mantan Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang itu menilai munculnya upaya delegitimasi terhadap ormas keagamaan belakangan ini biasa terjadi di negara demokrasi dan cukup ditanggapi dengan santai.

"Terkait dengan adanya upaya delegitimasi ulama moderat, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang dianggap ‘cinta dunia’ karena kedekatannya dengan Pemerintah, kita cukup tanggapi dengan santai saja. Bisa jadi ungkapan itu keluar karena rasa cemburu pihak tertentu terhadap kerja sama yang baik antara ulama dan umara," tuturnya.

Dia berpendapat, ormas keagamaan yang dilirik pemerintah menempati posisi strategis bukan murni karena kedekatan personal semata, tetapi juga adanya kecakapan pribadi dan karakter yang dapat diandalkan.

"Menurut saya, justru akan semakin baik jika pengelolaan sumber daya dan kepentingan negara diserahkan pada orang-orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, daripada diserahkan ke orang yang kualitas agamanya dipertanyakan, atau bahkan tidak beragama," imbuhnya.

Walaupun demikian, Syamsul tidak menampik bahwa ilmu agama dan kedekatan dengan pemerintah tidak bisa dijadikan modal tunggal untuk mempromosikan diri seseorang, tanpa dibekali kemampuan pendukung lainnya.

Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat agar tidak cepat menilai kapasitas seseorang atau kelompok tanpa mengetahui keseluruhan latar belakangnya.

"Rakyat Indonesia jangan mudah termakan narasi yang bernuansa dikotomis dan memecah belah persatuan bangsa. Kepercayaan pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara terhadap ulama Nusantara dalam pengelolaan hajat hidup orang banyak adalah bukti dari kontribusi nyata kalangan yang moderat dalam beragama. Peran ulama dan umara yang berkelindan justru dapat berfungsi sebagai pengingat serta kontrol sosial dan politik antara satu dengan lainnya," ucap dia.