Jakarta (ANTARA) - Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) menyoroti kualitas tata kelola keamanan siber di Indonesia menyusul serangan peretas terhadap sistem Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2.

Menurut Ketua ICSF Ardi Sutedja, peretasan sistem PDNS 2 menunjukkan bahwa ada masalah dalam tata kelola keamanan siber.

"Artinya, ada sesuatu yang tidak berfungsi dengan baik, ada tata kelola yang tidak diikuti, dan manajemen risiko pun tak dipahami," katanya di Jakarta, Rabu, usai membuka acara Cyber Law Expert Panel yang digelar oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta bersama ICSF.

Dia juga menyoroti kurangnya disiplin dalam tata kelola teknologi dan risikonya. "Padahal, tata kelola yang baik akan mengurangi risiko dan dampak dari ancaman siber," katanya.

Baca juga: KPU evaluasi sistem pengamanan jelang Pilkada 2024
Baca juga: Belanda dorong penguatan kerja sama keamanan siber dengan Indonesia

Ardi mengatakan bahwa serangan siber bisa terjadi pada semua negara, dan berpotensi mengancam keamanan nasional.

Peretasan sistem PDNS 2, menurut dia, hendaknya menyadarkan semua pihak untuk segera berusaha memperkuat keamanan siber RI.

Ia mengatakan, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keamanan siber dan perlindungan data pribadi juga harus ditingkatkan.

Mengenai rancangan undang-undang (RUU) tentang keamanan siber, Ardi mengatakan bahwa proses penyusunan rancangan undang-undang itu mestinya melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, termasuk industri, pendidikan, serta pengguna teknologi dan layanan keamanan digital.

Ia menilai kegagalan pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber pada 2019 antara lain terjadi karena isinya tidak merepresentasikan kepentingan banyak orang.

"Kalau tidak melibatkan masyarakat, dipastikan undang-undang itu mandul, tumpul," kata dia.

Baca juga: BSSN tegaskan RUU keamanan siber mendesak demi keamanan digital RI
Baca juga: Wapres: Gangguan PDNS 2 jadi pelajaran lebih perkuat keamanan siber