Kepala BKKBN sarankan pasangan yang akan nikah hemat biaya prewedding
26 Juni 2024 15:18 WIB
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo saat ditemui usai acara 'Siap Nikah Goes to Campus di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/6/2024). ANTARA/Risky Syukur/am.
Semarang (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo meminta pasangan yang akan menikah agar bisa menghemat biaya pranikah (prewedding).
Menurut dr. Hasto sebaiknya biaya pranikah dipakai untuk hal yang lebih berguna seperti pemeriksaan serta perawatan kesehatan pasangan. "Pesan praktisnya itu jangan terlalu membesar-besarkan yang enggak penting. Contohnya prewedding. Kita itu bisa mencapai puluhan juta rupiah, bahkan ada yang sampai ratusan juta rupiah," ucap dr. Hasto saat ditemui usai acara "Siap Nikah Goes to Campus" di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu.
Biaya sebesar itu, kata Hasto, dapat dipakai untuk tes darah atau mengonsumsi obat penambah darah sehingga ada perbaikan kualitas kesehatan pasangan.
"Konsepsi untuk tes HB (hemoglobin), minum tablet tambah darah, itu dikerjakan. Padahal itu murah banget, bahkan ada yang gratis. Itu pesan saya," tutur Hasto.
Ia juga meminta agar anak-anak muda tidak menikah pada usia yang terlalu dini atau terlalu tua, kemudian tidak terlalu dekat jarak kehamilan serta tidak terlalu sering hamil.
"Jangan terlalu muda nikah. Jangan terlalu tua juga (minimal 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria). Kemudian jangan terlalu sering hamil (jarak kehamilan terlalu dekat). Satu lagi jangan terlalu banyak. Sebetulnya target kita anak itu 2,1 (untuk setiap pasangan menikah)," kata Hasto.
Lebih lanjut, Hasto juga menyoroti perilaku seks pada anak muda yang dilakukan pada usia yang semakin dini serta dilakukan sebelum menikah.
"Remaja-remaja kita hubungan seksnya maju. Tapi nikahnya mundur. Jadi sekarang hampir 74 persen remaja laki-laki dan 69 persen remaja perempuan sudah hubungan seks antara usia 15 sampai 19 tahun. Tapi nikahnya di atas 22 tahun," ucap Hasto.
Menurutnya, seks di luar nikah bisa berdampak sistemik misalnya lahirnya anak yang stunting.
"Jadi kalau nanti banyak seks di luar nikah, otomatis banyak kejadian harus pakai dispensasi karena harus nikah, karena kecelakaan hamil di luar nikah. Anaknya akhirnya tidak terurus, stunting juga," kata Hasto.
Oleh karena itu, Hasto menegaskan bahwa pendidikan seks sangat vital bagi kaum muda, salah satunya untuk menyelamatkan organ reproduksi serta mencegah penularan penyakit.
"Kalau menurut saya pendidikan seks itu penting. Dan itu bukan pendidikan hubungan seks. Tujuannya bagaimana menyelamatkan organ reproduksi, supaya tidak ada penyakit menular. Sementara ini masih banyak menganggap tabu. Padahal kuncinya ada di sana," kata Hasto.
Baca juga: BKKBN: 400 ribu bayi stunting lahir di Indonesia setiap tahun
Baca juga: BKKBN: Perlu upaya atasi 24 persen penduduk usia kerja NEET
Baca juga: BKKBN: pendidikan rendah jadi tantangan edukasi stunting ke masyarakat
Menurut dr. Hasto sebaiknya biaya pranikah dipakai untuk hal yang lebih berguna seperti pemeriksaan serta perawatan kesehatan pasangan. "Pesan praktisnya itu jangan terlalu membesar-besarkan yang enggak penting. Contohnya prewedding. Kita itu bisa mencapai puluhan juta rupiah, bahkan ada yang sampai ratusan juta rupiah," ucap dr. Hasto saat ditemui usai acara "Siap Nikah Goes to Campus" di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu.
Biaya sebesar itu, kata Hasto, dapat dipakai untuk tes darah atau mengonsumsi obat penambah darah sehingga ada perbaikan kualitas kesehatan pasangan.
"Konsepsi untuk tes HB (hemoglobin), minum tablet tambah darah, itu dikerjakan. Padahal itu murah banget, bahkan ada yang gratis. Itu pesan saya," tutur Hasto.
Ia juga meminta agar anak-anak muda tidak menikah pada usia yang terlalu dini atau terlalu tua, kemudian tidak terlalu dekat jarak kehamilan serta tidak terlalu sering hamil.
"Jangan terlalu muda nikah. Jangan terlalu tua juga (minimal 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria). Kemudian jangan terlalu sering hamil (jarak kehamilan terlalu dekat). Satu lagi jangan terlalu banyak. Sebetulnya target kita anak itu 2,1 (untuk setiap pasangan menikah)," kata Hasto.
Lebih lanjut, Hasto juga menyoroti perilaku seks pada anak muda yang dilakukan pada usia yang semakin dini serta dilakukan sebelum menikah.
"Remaja-remaja kita hubungan seksnya maju. Tapi nikahnya mundur. Jadi sekarang hampir 74 persen remaja laki-laki dan 69 persen remaja perempuan sudah hubungan seks antara usia 15 sampai 19 tahun. Tapi nikahnya di atas 22 tahun," ucap Hasto.
Menurutnya, seks di luar nikah bisa berdampak sistemik misalnya lahirnya anak yang stunting.
"Jadi kalau nanti banyak seks di luar nikah, otomatis banyak kejadian harus pakai dispensasi karena harus nikah, karena kecelakaan hamil di luar nikah. Anaknya akhirnya tidak terurus, stunting juga," kata Hasto.
Oleh karena itu, Hasto menegaskan bahwa pendidikan seks sangat vital bagi kaum muda, salah satunya untuk menyelamatkan organ reproduksi serta mencegah penularan penyakit.
"Kalau menurut saya pendidikan seks itu penting. Dan itu bukan pendidikan hubungan seks. Tujuannya bagaimana menyelamatkan organ reproduksi, supaya tidak ada penyakit menular. Sementara ini masih banyak menganggap tabu. Padahal kuncinya ada di sana," kata Hasto.
Baca juga: BKKBN: 400 ribu bayi stunting lahir di Indonesia setiap tahun
Baca juga: BKKBN: Perlu upaya atasi 24 persen penduduk usia kerja NEET
Baca juga: BKKBN: pendidikan rendah jadi tantangan edukasi stunting ke masyarakat
Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2024
Tags: