Komersialisasi kesenian Bali terjadi sejak zaman kolonial
31 Januari 2014 12:27 WIB
Dua penari membawakan tari joged legong bisama, di Pesta Kesenian Bali ke-35 di Denpasar, Bali, Jumat (21/6). Tari yang dibawakan anak perempuan belum akil balik itu tari sakral Bali dan langka yang sudah jarang dipergelarkan. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Denpasar (ANTARA News) - Pengamat seni budaya Bali, Kadek Suartaya, mengemukakan, komersialisasi kesenian Bali muncul sejak zaman kolonial Belanda sekitar 1930.
"Kreasi baru dan adaptasi dari kesenian tradisional dilakukan para seniman untuk memberikan hiburan kepada wisatawan mancanegara," kata Suartaya, yang juga dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, Jumat.
Kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana itu menambahkan, kesenian kecak atau cak merupakan perintis seni pertunjukan untuk wisatawan di Pulau Dewata.
Setelah tari kecak yang dipisahkan dari tari sanghyang dan dijadikan pertunjukan wisata di Desa Bedulu, Kabupaten Gianyar, sekitar 1930-an, disusul pemisahan tari barong dari pertunjukan sakral calonarang di Tegaltamu, Batubulan, pada 1940-an.
Hal itu dilakukan karena wisatawan untuk bisa menyaksikan pagelaran itu harus menunggu masyarakat saat melaksanakan ritual keagamaan.
Suartaya menjelaskan, sebab itu sejak 1970-an, selain tari kecak dan barong, seni pertunjukan seperti legong, seni kebyar, dan sendratari menjadi seni tontonan yang umumnya disajikan sebagai seni wisata.
Selain itu juga dipentaskan tari janger, genggong, dan joged ikut meramaikan kepariwisataan Bali. Seni pertunjukan dan dunia seni umumnya berkaitan erat dengan sejarah kepariwisataan Pulau Dewata.
Suartaya menambahkan, memasuki awal 2000-an, keberadaan sendratari kolosal menjadi seni pentas unggulan sejak dimulainya Pesta Kesenian Bali pada 1979.
Pementasan di panggung Ardha Candra, Taman Budaya Bali yang berkapasitas 8.000 penonton itu tak tampak begitu disesaki penonton. Para seniman sendratari selama 20 tahun menjadi pusat perhatian masyarakat di arena PKB juga tampak kehilangan gairah dan mengendorkan penampilannya.
"Meskipun demikian, sendratari kolosal masih dipertahankan sebagai seni pertunjukan kehormatan pembuka pementasan perdana dalam setiap PKB," ujar Suartaya.
"Kreasi baru dan adaptasi dari kesenian tradisional dilakukan para seniman untuk memberikan hiburan kepada wisatawan mancanegara," kata Suartaya, yang juga dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, Jumat.
Kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana itu menambahkan, kesenian kecak atau cak merupakan perintis seni pertunjukan untuk wisatawan di Pulau Dewata.
Setelah tari kecak yang dipisahkan dari tari sanghyang dan dijadikan pertunjukan wisata di Desa Bedulu, Kabupaten Gianyar, sekitar 1930-an, disusul pemisahan tari barong dari pertunjukan sakral calonarang di Tegaltamu, Batubulan, pada 1940-an.
Hal itu dilakukan karena wisatawan untuk bisa menyaksikan pagelaran itu harus menunggu masyarakat saat melaksanakan ritual keagamaan.
Suartaya menjelaskan, sebab itu sejak 1970-an, selain tari kecak dan barong, seni pertunjukan seperti legong, seni kebyar, dan sendratari menjadi seni tontonan yang umumnya disajikan sebagai seni wisata.
Selain itu juga dipentaskan tari janger, genggong, dan joged ikut meramaikan kepariwisataan Bali. Seni pertunjukan dan dunia seni umumnya berkaitan erat dengan sejarah kepariwisataan Pulau Dewata.
Suartaya menambahkan, memasuki awal 2000-an, keberadaan sendratari kolosal menjadi seni pentas unggulan sejak dimulainya Pesta Kesenian Bali pada 1979.
Pementasan di panggung Ardha Candra, Taman Budaya Bali yang berkapasitas 8.000 penonton itu tak tampak begitu disesaki penonton. Para seniman sendratari selama 20 tahun menjadi pusat perhatian masyarakat di arena PKB juga tampak kehilangan gairah dan mengendorkan penampilannya.
"Meskipun demikian, sendratari kolosal masih dipertahankan sebagai seni pertunjukan kehormatan pembuka pementasan perdana dalam setiap PKB," ujar Suartaya.
Pewarta: I Ketut Sutika
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014
Tags: