Akil mengakui minta Rp3 miliar untuk Pilkada Gunung Mas
Akil Mochtar Bersaksi Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (kiri) melambaikan tangan sebelum memberikan keterangan dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas terpilih Hambit Bintih dan Komisaris PT Berkala Maju Bersama, Cornelis Nalau Antun terkait kasus dugaan suap perkara pilkada Mahkamah Konstitusi (MK) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/1). Jaksa penuntut umum memperlihatkan rekaman sms antara Akil Mochtar dan Chairun Nisa terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah di MK. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
"3 ton emas itu selanjutnya saya katakan Rp3 miliar," kata Akil Mochtar dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Akil menjadi saksi sekaligus untuk perkara Chairun Nisa yang didakwa menjadi perantara penerimaan uang untuk Akil dan terdakwa bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih serta keponakannya, Cornelis Nalau yang juga bendahara tim sukses Hambit.
"Jadi Rp3 miliar itu untuk apa?" tanya jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pulung Rinandoro.
"Biaya pengurusan perkara, kalau minta mau ditolong ya disiapkan segitu," jawab Akil.
Namun Akil berkelit bahwa Chairun Nisa belum menyampaikan bahwa Hambit menyetujui permintaan Rp3 miliar tersebut.
"Ini belum ada keputusan bersedia (memberikan) atau tidak, ini pembicaraan saja saya dan terdakwa (Chairun Nisa), Chairun Nisa hanya mengatakan akan menyampaikan ke Hambit," ungkap Akil.
"Tapi Saudara menyetujui untuk membantu memenangkan Hambit?" tanya jaksa Pulung.
"Iya, kalau memang dia (Hambit) bersedia," jawab Akil.
"Lalu terdakwa (Chairun Nisa) mengirim SMS supaya dibagi dua, apakah saudara bersedia?" tanya jaksa Pulung lagi.
"Saya tidak ingat, bacakan saja SMS-nya," jawab Akil.
"Saya bacakan, Jangan kayak belanjalah ditawar-tawar, itu kurang, kalau satu-satu itu Rp9 miliar, ini maksudnya apa?" tanya Pulung.
"Saya jawab begitu saja, maksudnya satu sama saya, satu sama dia untuk Rp9 miliar," jawab Akil.
"Bukan maksudnya satu-satu untuk sembilan orang hakim konstitusi?" cecar Pulung.
"Kan pembagiannya dua, saya setengah, dia setengah itu pembagiannya sembilan, jadi Rp4,5 miliar," ungkap Akil.
"Jadi kalau dia (Chairun Nisa) minta jatah maka harus sediakan Rp9 miliar? Kalau bapak sendiri Rp3 miliar?" tanya jaksa.
"Iya," jawab Akil.
"Tapi komunikasi bapak selanjutnya adalah Cepat dong kalau mau dibereskan, ini maksudnya apa?" tanya Pulung.
"Ya harus ada kepastian, kalau tidak ada kepastian tidak (diluluskan)," ungkap Akil yang mengundang seruan "huuu" dari penonton sidang.
Namun Akil segera membela dirinya.
"Saya hanya perlu ada kepastian, di sini saya punya hak karena saya sebagai saksi bukan terdakwa dalam kasus ini," tambah Akil membela dirinya.
"Kemudian ada permintaan kepada terdakwa untuk memberikan dalam bentuk tertentu?" tanya Pulung.
"Ada, saya minta dalam bentuk dolar, supaya mudah," jelas Akil.
Pada akhirnya Chariun Nisa bersama dengan Hambit Bintih mengantarkan uang sekitar Rp3 miliar ke Akil di rumahnya pada 3 Oktober yang terdiri atas empat amplop cokelat yang berisi sejumlah uang yaitu amplop pertama 107,5 ribu dolar Singapura dan Rp400 ribu, amplop kedua 107,5 ribu dolar Singapura dan Rp366 ribu, amplop ketiga 22 ribu dolar AS serta amplop keempat 79 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Chairun Nisa atas jasanya sebagai perantara antara Hambit dan Akil mendapatkan Rp75 juta.
Dalam perkara ini, Chairun Nisa didakwa dengan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai orang yang menerima hadiah atau janji dengan ancaman penjara 4-20 tahun dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Sedangkan Hambit Bintih dan Cornelis Nalau didakwa memberikan uang Rp3,075 miliar kepada Akil Mochtar dan anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan didakwa pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai orang yang memberikan sesuatu kepada hakim untuk mempengaruhi putusan perkara dengan ancaman penjara 3-15 tahun dan denda Rp150-750 juta.
(D017)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014