Studi sebut manusia berkendara lebih baik dibanding teknologi otomatis
25 Juni 2024 10:39 WIB
Seorang pemandu menunjukkan sejumlah mobil otonom atau mobil tanpa pengemudi dari generasi ke generasi yang dikembangkan oleh Baidu China di platform Apollo Baidu, Beijing, Senin (7/11/2022). ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/aww.
Jakarta (ANTARA) - Sebuah studi yang diterbitkan Nature Communications menemukan bahwa manusia lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kecelakaan saat berbelok atau dalam situasi cahaya redup dibandingkan teknologi otomatis.
Dilaporkan Motor1 pada Senin (24/6), studi tersebut menganalisis lebih dari 37.000 tabrakan kendaraan dan menemukan bahwa kendaraan yang menggunakan sistem otomatis mengalami kecelakaan lima kali lebih banyak saat matahari terbit atau terbenam.
Bahkan di tikungan, rasionya dua kali lebih besar dibandingkan kendaraan yang dikemudikan manusia.
Sekitar 35.000 kecelakaan yang melibatkan pengemudi manusia dan 2.100 kecelakaan dengan sistem otomatis aktif menjadi dasar data.
Baca juga: Delameta kembangkan teknologi keselamatan transportasi V2X
Baca juga: Geely terbangkan satelit berikan kenyamanan berkendara secara otonom
Berkenaan dengan situasi cahaya redup, penelitian ini menyoroti keterbatasan kamera dan sensor serta ketidakmampuan beradaptasi dengan kondisi.
Misalnya, bayangan di pagi hari atau di penghujung hari dapat disalahartikan sebagai objek.
Cahaya yang berfluktuasi juga dapat menjadi masalah, mendatangkan malapetaka pada algoritma dan menyebabkan kebingungan dalam sistem. Sebaliknya, objek dalam bayangan mungkin tidak terdeteksi sama sekali.
Hal ini didukung oleh uji tabrak yang secara konsisten menunjukkan kendaraan terlambat mengerem atau gagal berhenti sama sekali untuk simulasi pejalan kaki atau hewan.
Kesadaran situasional disebut-sebut sebagai titik masalah yang mungkin terjadi pada sistem otomatis saat ini. Sensor dan kamera mungkin tidak mendeteksi semua hambatan di lokasi dinamis seperti persimpangan, namun lebih dari itu.
Studi tersebut menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini umumnya “melihat” area yang relatif dekat dengan kendaraan. Jika manusia mungkin melihat kabut tebal dalam jarak setengah mil dan mengambil tindakan pencegahan, mobil yang dikendalikan secara otonom akan terus melaju.
Ada bukti yang mendukung hal ini lewat penelitian tindakan yang diambil sebelum tabrakan, sebagian besar kendaraan di bawah kendali otonom melaju lurus dan dengan kecepatan konstan sebelum manuver darurat dilaksanakan.
Sementara mobil yang dikendarai manusia menunjukkan lebih banyak kasus melambat dan berpindah jalur sebelum terjadi tabrakan.
Studi ini memperhitungkan sejumlah besar variabel untuk sampai pada kesimpulan ini, namun kesimpulannya jelas bahwa sistem bantuan pengemudi yang ada sekarang hanyalah bantuan.
Otomatisasi bekerja dengan baik pada jalur lurus, namun lebih banyak data harus dikumpulkan dan dipelajari sebelum pengemudian Level 4 yang tanpa perlu memegang kemudi dan fokus menyetir dapat menjadi kenyataan.
Baca juga: Subaru incar penjualan mobil otonom level 2 untuk jalan biasa
Baca juga: Honda Legend, sedan berfitur otonom level 3 pertama di dunia
Baca juga: Tesla bereskan rintangan untuk kenalkan sistem kemudi otonom di China
Dilaporkan Motor1 pada Senin (24/6), studi tersebut menganalisis lebih dari 37.000 tabrakan kendaraan dan menemukan bahwa kendaraan yang menggunakan sistem otomatis mengalami kecelakaan lima kali lebih banyak saat matahari terbit atau terbenam.
Bahkan di tikungan, rasionya dua kali lebih besar dibandingkan kendaraan yang dikemudikan manusia.
Sekitar 35.000 kecelakaan yang melibatkan pengemudi manusia dan 2.100 kecelakaan dengan sistem otomatis aktif menjadi dasar data.
Baca juga: Delameta kembangkan teknologi keselamatan transportasi V2X
Baca juga: Geely terbangkan satelit berikan kenyamanan berkendara secara otonom
Berkenaan dengan situasi cahaya redup, penelitian ini menyoroti keterbatasan kamera dan sensor serta ketidakmampuan beradaptasi dengan kondisi.
Misalnya, bayangan di pagi hari atau di penghujung hari dapat disalahartikan sebagai objek.
Cahaya yang berfluktuasi juga dapat menjadi masalah, mendatangkan malapetaka pada algoritma dan menyebabkan kebingungan dalam sistem. Sebaliknya, objek dalam bayangan mungkin tidak terdeteksi sama sekali.
Hal ini didukung oleh uji tabrak yang secara konsisten menunjukkan kendaraan terlambat mengerem atau gagal berhenti sama sekali untuk simulasi pejalan kaki atau hewan.
Kesadaran situasional disebut-sebut sebagai titik masalah yang mungkin terjadi pada sistem otomatis saat ini. Sensor dan kamera mungkin tidak mendeteksi semua hambatan di lokasi dinamis seperti persimpangan, namun lebih dari itu.
Studi tersebut menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini umumnya “melihat” area yang relatif dekat dengan kendaraan. Jika manusia mungkin melihat kabut tebal dalam jarak setengah mil dan mengambil tindakan pencegahan, mobil yang dikendalikan secara otonom akan terus melaju.
Ada bukti yang mendukung hal ini lewat penelitian tindakan yang diambil sebelum tabrakan, sebagian besar kendaraan di bawah kendali otonom melaju lurus dan dengan kecepatan konstan sebelum manuver darurat dilaksanakan.
Sementara mobil yang dikendarai manusia menunjukkan lebih banyak kasus melambat dan berpindah jalur sebelum terjadi tabrakan.
Studi ini memperhitungkan sejumlah besar variabel untuk sampai pada kesimpulan ini, namun kesimpulannya jelas bahwa sistem bantuan pengemudi yang ada sekarang hanyalah bantuan.
Otomatisasi bekerja dengan baik pada jalur lurus, namun lebih banyak data harus dikumpulkan dan dipelajari sebelum pengemudian Level 4 yang tanpa perlu memegang kemudi dan fokus menyetir dapat menjadi kenyataan.
Baca juga: Subaru incar penjualan mobil otonom level 2 untuk jalan biasa
Baca juga: Honda Legend, sedan berfitur otonom level 3 pertama di dunia
Baca juga: Tesla bereskan rintangan untuk kenalkan sistem kemudi otonom di China
Penerjemah: Adimas Raditya Fahky P
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024
Tags: