Kejati Kepri bebaskan tersangka penadahan melalui keadilan restoratif
24 Juni 2024 12:07 WIB
Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau menghentikan penuntutan perkara pidana penadahan melalui keadilan restoratif di Tanjungpinang, Kepri, Senin (24/6/2024). ANTARA/HO-Kasipenkum Kejati Kepri
Tanjungpinang (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) membebaskan tiga tersangka perkara tindak pidana penadahan melalui keadilan restoratif yang diajukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bintan.
"Kejari Bintan mengajukan satu perkara penadahan dengan tiga tersangka yang dimohonkan untuk diterapkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," kata Kasi Penkum Kejati Kepri Denny Anteng Prakoso di Tanjungpinang, Senin.
Denny menyebut nama ketiga tersangka dalam perkara tindak pidana orang dan harta benda (oharda), yakni Fajar Agusti bin M. Sadri Saputra, Silvi Tiara Putri binti Razali, dan Rangga Saputra Als Apek bin Muhamad.
Perbuatan ketiga tersangka melanggar Pasal 480 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang tindak pidana penadahan.
"Permohonan keadilan restoratif atas ketiga tersangka telah disetujui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI," kata Denny.
Ia menjelaskan bahwa penghentian penuntutan perkara penadahan tersebut dengan alasan dan pertimbangan menurut hukum terhadap pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah memenuhi syarat, antara lain, ada proses perdamaian, tersangka sudah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Tersangka belum pernah dihukum atau baru kali pertama melakukan tindak pidana, dan ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
"Kesepakatan perdamaian tanpa syarat, kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan," ujar Denny.
Baca juga: Ketua MPR dorong Jampidum optimalisasikan keadilan restoratif
Baca juga: Kejati Sumut hentikan penuntutan 40 perkara dengan RJ
Selain itu, lanjut dia, penyelesaian perkara ini juga mempertimbangkan faktor sosiologis, masyarakat merespons positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Usai dikabulkan penghentian penuntutan perkara tersebut, Kepala Kejari Bintan harus segera memproses penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) yang berdasarkan keadilan restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ia menambahkan bahwa Kejati Kepri melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan.
Hal itu, kata dia, merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
"Melalui kebijakan restorative justice ini diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan. Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana," kata Denny menegaskan.
"Kejari Bintan mengajukan satu perkara penadahan dengan tiga tersangka yang dimohonkan untuk diterapkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," kata Kasi Penkum Kejati Kepri Denny Anteng Prakoso di Tanjungpinang, Senin.
Denny menyebut nama ketiga tersangka dalam perkara tindak pidana orang dan harta benda (oharda), yakni Fajar Agusti bin M. Sadri Saputra, Silvi Tiara Putri binti Razali, dan Rangga Saputra Als Apek bin Muhamad.
Perbuatan ketiga tersangka melanggar Pasal 480 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang tindak pidana penadahan.
"Permohonan keadilan restoratif atas ketiga tersangka telah disetujui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI," kata Denny.
Ia menjelaskan bahwa penghentian penuntutan perkara penadahan tersebut dengan alasan dan pertimbangan menurut hukum terhadap pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah memenuhi syarat, antara lain, ada proses perdamaian, tersangka sudah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Tersangka belum pernah dihukum atau baru kali pertama melakukan tindak pidana, dan ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
"Kesepakatan perdamaian tanpa syarat, kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan," ujar Denny.
Baca juga: Ketua MPR dorong Jampidum optimalisasikan keadilan restoratif
Baca juga: Kejati Sumut hentikan penuntutan 40 perkara dengan RJ
Selain itu, lanjut dia, penyelesaian perkara ini juga mempertimbangkan faktor sosiologis, masyarakat merespons positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Usai dikabulkan penghentian penuntutan perkara tersebut, Kepala Kejari Bintan harus segera memproses penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) yang berdasarkan keadilan restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ia menambahkan bahwa Kejati Kepri melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan.
Hal itu, kata dia, merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
"Melalui kebijakan restorative justice ini diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan. Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana," kata Denny menegaskan.
Pewarta: Ogen
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024
Tags: