Kewaspadaan orang tua kunci keberhasilan tangani DBD pada anak
23 Juni 2024 20:24 WIB
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan dr. Imran Pambudi, MPHM dalam acara Indonesia Dengue Summit 2024 di Jakarta Selatan, Minggu (23/6/2024). (ANTARA/Livia Kristianti)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan dr. Imran Pambudi, MPHM menyebutkan kewaspadaan orang tua menjadi kunci keberhasilan dalam penanganan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada anak-anak.
Menurutnya Imran kewaspadaan orang tua memahami perubahan yang dialami pada anak diperlukan apabila agar apabila anak mengalami perburukan DBD maka penanganan dari tenaga medis yang tepat bisa lebih cepat didapatkan oleh anak dan mencegah fatalitas dari DBD.
"Orang tua itu harus paham betul sama anaknya, kadang dia tidak bisa mengungkapkan sakitnya apa. Padahal dalam diagnosis dokter sering mengandalkan anamnesis (wawancara medis). Lewat wawancara penyakit bisa terjawab dan tidak harus menggunakan hasil laboratorium. Dengan pertanyaan hampir 60 persen bisa diduga. Sehingga ketika anak DBD orang tua harus tahu kondisi anaknya," kata Imran dalam diskusi yang berlangsung di Jakarta, Minggu.
Dalam data Kementerian Kesehatan per 5 Mei 2024, dalam hal distribusi kasus DBD sesuai kelompok umur selama tiga tahun terakhir (2022-2024) kasus DBD ditemukan paling banyak pada kelompok umur 15-44 tahun dengan persentase 43 persen dari seluruh kelompok umur.
Namun apabila dilihat dari distribusi kematian DBD sesuai kelompok umur, dalam tujuh tahun terakhir justru kematian akibat DBD paling banyak ditemukan pada kelompok umur 5-14 tahun dengan persentase 53 persen dari seluruh kelompok umur.
Hal ini menunjukkan meski DBD menjangkiti kelompok usia yang produktif, namun fatalitasnya paling banyak terjadi di usia kelompok anak-anak yaitu 5-14 tahun.
Imran mengatakan kematian pada usia anak-anak akibat DBD itu disebabkan karena imunitas anak tidak sebaik kelompok usia produktif.
Di samping itu, hal tersebut turut dipengaruhi karena kerap kali gejala-gejala perburukan sulit ditemukan pada anak yang mengalami DBD karena yang bersangkutan tidak dapat mendeskripsikan dengan tepat gejala yang dialaminya sehingga yang ditemukan kerap kali anak sudah dalam kondisi kritis.
Maka dari itu, ketika anak terlihat mengalami gejala DBD atau sudah mengalami DBD ada baiknya orang tua ataupun pihak yang bertanggung jawab merawat anak melakukan komunikasi yang intens dengan anak mengenai apa perubahan yang dialami hingga apa yang dirasakan oleh anak.
"Karena sering tuh ditemukan kalau di Jakarta misalnya, yang ngurusin anak itu baby sitter. Ketika anaknya sakit yang bawa orang tuanya tapi ga tahu kondisinya. Sementara baby sitter yang paling tahu kondisi anak malah tetap tinggal di rumah ga ikut pemeriksaan. Jadi memang sangat penting komunikasi dibangun orang tua dan yang merawat anak di rumah untuk mengetahui kondisi anaknya," kata Imran.
Adapun beberapa gejala yang menjadi penanda bagi orang tua bahwa anak mengalami perburukan saat DBD di antaranya tidak ada perbaikan kondisi setelah suhu tubuh menurun, anak terus menolak makan dan minum, nyeri perut hebat, lemah, lesu, hingga anak ingin terus tidur.
Lalu di samping itu perlu juga diperhatikan saat anak mengalami perubahan perilaku seperti suka marah-marah, anak terlihat pucat dan tangan serta kakinya dingin, perdarahan, hingga anak tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam.
Menurutnya Imran kewaspadaan orang tua memahami perubahan yang dialami pada anak diperlukan apabila agar apabila anak mengalami perburukan DBD maka penanganan dari tenaga medis yang tepat bisa lebih cepat didapatkan oleh anak dan mencegah fatalitas dari DBD.
"Orang tua itu harus paham betul sama anaknya, kadang dia tidak bisa mengungkapkan sakitnya apa. Padahal dalam diagnosis dokter sering mengandalkan anamnesis (wawancara medis). Lewat wawancara penyakit bisa terjawab dan tidak harus menggunakan hasil laboratorium. Dengan pertanyaan hampir 60 persen bisa diduga. Sehingga ketika anak DBD orang tua harus tahu kondisi anaknya," kata Imran dalam diskusi yang berlangsung di Jakarta, Minggu.
Dalam data Kementerian Kesehatan per 5 Mei 2024, dalam hal distribusi kasus DBD sesuai kelompok umur selama tiga tahun terakhir (2022-2024) kasus DBD ditemukan paling banyak pada kelompok umur 15-44 tahun dengan persentase 43 persen dari seluruh kelompok umur.
Namun apabila dilihat dari distribusi kematian DBD sesuai kelompok umur, dalam tujuh tahun terakhir justru kematian akibat DBD paling banyak ditemukan pada kelompok umur 5-14 tahun dengan persentase 53 persen dari seluruh kelompok umur.
Hal ini menunjukkan meski DBD menjangkiti kelompok usia yang produktif, namun fatalitasnya paling banyak terjadi di usia kelompok anak-anak yaitu 5-14 tahun.
Imran mengatakan kematian pada usia anak-anak akibat DBD itu disebabkan karena imunitas anak tidak sebaik kelompok usia produktif.
Di samping itu, hal tersebut turut dipengaruhi karena kerap kali gejala-gejala perburukan sulit ditemukan pada anak yang mengalami DBD karena yang bersangkutan tidak dapat mendeskripsikan dengan tepat gejala yang dialaminya sehingga yang ditemukan kerap kali anak sudah dalam kondisi kritis.
Maka dari itu, ketika anak terlihat mengalami gejala DBD atau sudah mengalami DBD ada baiknya orang tua ataupun pihak yang bertanggung jawab merawat anak melakukan komunikasi yang intens dengan anak mengenai apa perubahan yang dialami hingga apa yang dirasakan oleh anak.
"Karena sering tuh ditemukan kalau di Jakarta misalnya, yang ngurusin anak itu baby sitter. Ketika anaknya sakit yang bawa orang tuanya tapi ga tahu kondisinya. Sementara baby sitter yang paling tahu kondisi anak malah tetap tinggal di rumah ga ikut pemeriksaan. Jadi memang sangat penting komunikasi dibangun orang tua dan yang merawat anak di rumah untuk mengetahui kondisi anaknya," kata Imran.
Adapun beberapa gejala yang menjadi penanda bagi orang tua bahwa anak mengalami perburukan saat DBD di antaranya tidak ada perbaikan kondisi setelah suhu tubuh menurun, anak terus menolak makan dan minum, nyeri perut hebat, lemah, lesu, hingga anak ingin terus tidur.
Lalu di samping itu perlu juga diperhatikan saat anak mengalami perubahan perilaku seperti suka marah-marah, anak terlihat pucat dan tangan serta kakinya dingin, perdarahan, hingga anak tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam.
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2024
Tags: