Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dinilai belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani berbagai macam persoalan kehutanan, seperti "illegal logging" dan kebakaran hutan. Hal itu dikemukakan anggota DPR Yunus Yosfiah dan aktifis Walhi, Rully Symanda, saat berbicara dalam diskusi publik "Selamatkan Hutan, Selamatkan Indonesia" di Jakarta, Rabu. Menurut Yunus, carut-marutnya persoalan kehutanan di Indonesia tidak lepas dari sistem yang tidak efektif dan juga bersifat korup. Politisi PPP itu berpendapat jenjang pemerintahan tertinggi di pusat hingga bupati/walikota terlihat tidak serius menangani berbagai aktifitas mafia hutan. Ia juga menyatakan Menko Polhukam Widodo AS kurang diaktifkan secara optimal dalam penyelesaian persoalan yang sesungguhnya masuk dalam wilayah tugasnya. Yunus menceritakan ketika menjadi Kepala Staf Kodam (Kasdam) Tanjungpura di Kalimantan dan Pangdam Sriwijaya, Sumsel dirinya sering menerima "surat sakti" terkait dengan upaya penggelapan kayu. Namun, itu semua ditolaknya. Ketika ia mengerahkan berbagai sumber daya Kodam Sriwijaya untuk memberantas "illegal logging", maka yang terjadi adalah stok kayu di Jakarta kosong. Sementara itu, Rully menuturkan bahwa hasil illegal logging di Indonesia pertahunnya mencapai 67 juta meter kubik dengan nilai kerugian sebesar Rp4 triliun. Luas kerusakan hutan itu mencapai enam kali lapangan sepakbola per menitnya. Karena itu , lanjutnya, kehutanan menjadi salah satu sektor yang turut serta dalam penghancuran ekonomi, ekologi dan sosial. Menurut dia, semua itu antara lain disebabkan gagalnya pemerintah menghormati hak masyarakat atas hutan dan besarnya kesenjangan antara permintaan dan penawaran dari industri pulp dan kertas. Senada dengan Yunus Yosfiah, Rully juga melihat adanya faktor korupsi yang merajalela di semua lini sebagai faktor yang merusak hutan. Dalam diskusi yang diselenggatakan "Progress Institute" itu, Walhi menyebut sejumlah kebijakan yang harus dilakukan pemerintah yakni aksi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat, moratorium (penghentian) perizinan baru, dan penambahan kapasitas produksi kehutanan. Selain itu, kata Rully, juga perlu dilakukan moratorium penebangan pada lokasi-lokasi yang spesifik untuk jangka waktu tertentu. "Moratorium ini bukan berhenti menebang sama sekali, tetapi memberi kesempatan hutan minimal 10 tahun untuk tumbuh normal kembali," katanya. Dalam diskusi tersebut juga muncul wacana mengenai perlunya dilakukan audit menyeluruh secara transparan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan hutan dan dihadirkannya Komisi Penyelamatan Hutan Indonesia. Di tempat yang sama, Deputi Menneg Lingkungan Hidup Bidang Konservasi Masnelyarti Hilman mengatakan pemerintah sebenarnya telah banyak melakukan upaya untuk menyeret para pelaku perusakan atau pembakaran hutan. Tapi, katanya, masalahnya ketika telah sampai di meja hijau, banyak kasus yang mentah kembali karena ketika sampai di pengadilan, pemerintah tidak bisa lagi campur tangan. (*)