GAPPRI sebut kenaikan tarif CHT berpotensi tingkatkan rokok ilegal
20 Juni 2024 19:16 WIB
Buruh linting rokok menempel pita cukai di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/foc. ( (ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI)
Jakarta (ANTARA) - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) 2025 serta penyederhanaan (simplifikasi) tarif memicu meningkatnya peredaran rokok ilegal di pasaran.
Ketua umum GAPPRI Henry Najoan di Jakarta, Kamis menyatakan merujuk hasil kajian resmi Kementerian Keuangan, produksi rokok ilegal mencapai 7 persen dari total rokok di Indonesia per tahun, maraknya rokok ilegal itu seiring dengan penurunan produksi rokok.
Menurut dia jumlah rokok ilegal yang beredar disinyalir jauh lebih banyak dari kajian yang dilaporkan sehingga potensi kerugian negara akibat rokok ilegal cukup besar, apabila acuannya adalah pendapatan cukai.
"Kebijakan menaikkan CHT tiap tahun, akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Kerugian negara juga makin besar," kata Henry dalam keterangannya.
Dikatakannya, kenaikan tarif CHT selama 4 tahun terakhir telah memengaruhi kinerja lndustri Hasil Tembakau (lHT) yang mana berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pada 2020, volume produksi sebesar 291,70 miliar batang, kemudian pada 2021 naik menjadi 334,84 miliar batang.
Namun kembali turun berturut-turut di 2022 menjadi 323,88 miliar batang dan 2023 sebesar 318,14 miliar batang. Volume produksi tersebut tak dapat menjangkau level pra-pandemi tahun 2019 sebesar 355,90 miliar batang.
"Sejak tahun 2020 sampai tahun 2023, produksi pabrik golongan I telah turun sebanyak 101,51 miliar batang dan secara total produksi telah turun 38,35 miliar batang. Terindikasi konsumsi produk pabrik golongan I yang legal telah tersisa 62,8% dibanding konsumsi tahun 2019," terang Henry Najoan.
Sementara itu, realisasi penerimaan cukai, pada tahun 2021 sebesar Rp188,8 triliun, tahun 2022 naik menjadi Rp. 218,62 triliun dan tahun 2023 turun menjadi Rp213,49 triliun dengan revisi target penerimaan cukai tahun 2023 yang dikoreksi melalui Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2023.
Terkait turunnya produksi hasil tembakau dan melambatnya kinerja penerimaan CHT, tambahnya, GAPPRI mendorong pemerintah perlunya melakukan mitigasi.
"Kami mendorong adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," ujar Henry Najoan.
GAPPRI menyampaikan empat rekomendasi kepada Menteri Keuangan yakni pertama, tidak menaikkan tarif CHT di tahun 2025, mengingat IHT akan terbebani akibat rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 10,7 persen sebagaimana Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 631/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau.
Kedua, di tahun 2026, GAPPRI berharap dalam perumusan kenaikan tarif CHT dapat mempertimbangkan angka inflasi sebagai dasar penyesuaian tarif.
Ketiga, GAPPRI mengingatkan agar tidak dilakukan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif dan golongan untuk menjaga kinerja IHT dalam rangka tetap mendorong optimalisasi penerimaan cukai dan pajak.
"Kami juga menolak arah kebijakan cukai yang mendekatkan disparitas tarif antar layer," katanya.
Keempat, mendorong operasi gempur rokok ilegal agar terus dilakukan secara konsisten dan terukur.
Menurut dia, saat ini dampak meningkatnya tarif cukai rokok yang terlalu tinggi, pasar rokok sudah leluasa beredar rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat. Maraknya rokok ilegal juga mengancam keberlangsungan rokok legal yang terkonfirmasi melalui turunnya pemesanan pita cukai.
"Kami mengharapkan aparat penegak hukum agar terus menerus meningkatkan penindakan rokok ilegal secara extra ordinary sehingga rokok ilegal bisa ditekan dan dihilangkan," ujar Henry Najoan.
Baca juga: Menkes: Beban kesehatan negara akibat rokok lebih gede dari pendapatan
Baca juga: Peneliti: Penurunan realisasi cukai hasil tembakau perlu dievaluasi
Baca juga: Gappri minta pemisahan pengaturan produk IHT dari RPP Kesehatan
Ketua umum GAPPRI Henry Najoan di Jakarta, Kamis menyatakan merujuk hasil kajian resmi Kementerian Keuangan, produksi rokok ilegal mencapai 7 persen dari total rokok di Indonesia per tahun, maraknya rokok ilegal itu seiring dengan penurunan produksi rokok.
Menurut dia jumlah rokok ilegal yang beredar disinyalir jauh lebih banyak dari kajian yang dilaporkan sehingga potensi kerugian negara akibat rokok ilegal cukup besar, apabila acuannya adalah pendapatan cukai.
"Kebijakan menaikkan CHT tiap tahun, akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Kerugian negara juga makin besar," kata Henry dalam keterangannya.
Dikatakannya, kenaikan tarif CHT selama 4 tahun terakhir telah memengaruhi kinerja lndustri Hasil Tembakau (lHT) yang mana berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pada 2020, volume produksi sebesar 291,70 miliar batang, kemudian pada 2021 naik menjadi 334,84 miliar batang.
Namun kembali turun berturut-turut di 2022 menjadi 323,88 miliar batang dan 2023 sebesar 318,14 miliar batang. Volume produksi tersebut tak dapat menjangkau level pra-pandemi tahun 2019 sebesar 355,90 miliar batang.
"Sejak tahun 2020 sampai tahun 2023, produksi pabrik golongan I telah turun sebanyak 101,51 miliar batang dan secara total produksi telah turun 38,35 miliar batang. Terindikasi konsumsi produk pabrik golongan I yang legal telah tersisa 62,8% dibanding konsumsi tahun 2019," terang Henry Najoan.
Sementara itu, realisasi penerimaan cukai, pada tahun 2021 sebesar Rp188,8 triliun, tahun 2022 naik menjadi Rp. 218,62 triliun dan tahun 2023 turun menjadi Rp213,49 triliun dengan revisi target penerimaan cukai tahun 2023 yang dikoreksi melalui Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2023.
Terkait turunnya produksi hasil tembakau dan melambatnya kinerja penerimaan CHT, tambahnya, GAPPRI mendorong pemerintah perlunya melakukan mitigasi.
"Kami mendorong adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," ujar Henry Najoan.
GAPPRI menyampaikan empat rekomendasi kepada Menteri Keuangan yakni pertama, tidak menaikkan tarif CHT di tahun 2025, mengingat IHT akan terbebani akibat rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 10,7 persen sebagaimana Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 631/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau.
Kedua, di tahun 2026, GAPPRI berharap dalam perumusan kenaikan tarif CHT dapat mempertimbangkan angka inflasi sebagai dasar penyesuaian tarif.
Ketiga, GAPPRI mengingatkan agar tidak dilakukan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif dan golongan untuk menjaga kinerja IHT dalam rangka tetap mendorong optimalisasi penerimaan cukai dan pajak.
"Kami juga menolak arah kebijakan cukai yang mendekatkan disparitas tarif antar layer," katanya.
Keempat, mendorong operasi gempur rokok ilegal agar terus dilakukan secara konsisten dan terukur.
Menurut dia, saat ini dampak meningkatnya tarif cukai rokok yang terlalu tinggi, pasar rokok sudah leluasa beredar rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat. Maraknya rokok ilegal juga mengancam keberlangsungan rokok legal yang terkonfirmasi melalui turunnya pemesanan pita cukai.
"Kami mengharapkan aparat penegak hukum agar terus menerus meningkatkan penindakan rokok ilegal secara extra ordinary sehingga rokok ilegal bisa ditekan dan dihilangkan," ujar Henry Najoan.
Baca juga: Menkes: Beban kesehatan negara akibat rokok lebih gede dari pendapatan
Baca juga: Peneliti: Penurunan realisasi cukai hasil tembakau perlu dievaluasi
Baca juga: Gappri minta pemisahan pengaturan produk IHT dari RPP Kesehatan
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024
Tags: