BBPOM Denpasar edukasi cegah stunting lewat Desa Pangan Aman
20 Juni 2024 18:34 WIB
Ilustrasi - Pemberian makanan tambahan untuk pencegahan stunting kepada para balita dalam salah satu kegiatan posyandu di Kota Denpasar belum lama ini. ANTARA/Ni Luh Rhismawati.
Denpasar (ANTARA) - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Denpasar Bali melakukan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pemuda-pemudi di desa terkait pencegahan stunting melalui program Desa Pangan Aman.
"Melalui program Desa Pangan Aman, maka masyarakat akan diberikan KIE terkait makanan yang aman dikonsumsi, bergizi seimbang, dan bagaimana mencegah stunting. Selain itu menghindari bahan-bahan berbahaya pada makanan," kata Ketua Tim KIE dan Pelayanan Publik BBPOM Denpasar Ni Putu Ekayani Scorpiasanty di Denpasar, Kamis.
Menurut Ekayani, setelah disasar program Desa Pangan Aman, sudah jauh menurun jumlah makanan, khususnya jajanan yang menggunakan pewarna bukan dari pewarna makanan seperti pewarna tekstil.
"Sebelumnya jaja uli dan begina -kue tradisional Bali- banyak yang dibuat dengan menggunakan pewarna bukan pewarna makanan. Kalau makanan yang berbahaya seperti ini dikonsumsi, selain tidak bergizi dan menyebabkan kanker, juga dapat menyebabkan stunting," ujarnya.
Selain itu, untuk makanan yang mengandung rhodamin B (salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas) kasusnya juga sudah nol atau tidak ada lagi produsen makanan di Bali yang menggunakan rhodamin B.
Pihaknya mencatat dari tahun 2014 hingga saat ini sudah 56 desa di Provinsi Bali yang disasar dengan program Desa Pangan Aman.
"BBPOM juga memiliki program terkait fortifikasi yodium pada garam. Kalau sudah garamnya aman dan mengandung yodium, itu juga bisa mencegah stunting," ucapnya.
Ia menambahkan, saat ini makanan berbahaya yang masih ditemukan di masyarakat adalah kerupuk beras yang menggunakan boraks. "Boraks ini sebenarnya pengawet kayu tetapi masih digunakan untuk pengawet makanan. Ini tentu tidak baik jika digunakan pada makanan untuk perenyah dan pengenyal," katanya.
Ekayani berharap mulai dari calon pengantin agar dapat menjaga keamanan pangan, sehingga nantinya dapat diterapkan di lingkungan keluarga untuk mencegah stunting.
Dengan upaya kolaborasi dari berbagai komponen dan pemangku kepentingan terkait, diharapkan tidak ada pertumbuhan generasi di Bali yang mengarah pada stunting.
Angka prevalensi stunting di Provinsi Bali pada tahun 2022 tercatat sebesar 8 persen, kemudian pada 2023 mencapai 7,2 persen. Bali pada 2023 tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi stunting terendah di Indonesia.
"Melalui program Desa Pangan Aman, maka masyarakat akan diberikan KIE terkait makanan yang aman dikonsumsi, bergizi seimbang, dan bagaimana mencegah stunting. Selain itu menghindari bahan-bahan berbahaya pada makanan," kata Ketua Tim KIE dan Pelayanan Publik BBPOM Denpasar Ni Putu Ekayani Scorpiasanty di Denpasar, Kamis.
Menurut Ekayani, setelah disasar program Desa Pangan Aman, sudah jauh menurun jumlah makanan, khususnya jajanan yang menggunakan pewarna bukan dari pewarna makanan seperti pewarna tekstil.
"Sebelumnya jaja uli dan begina -kue tradisional Bali- banyak yang dibuat dengan menggunakan pewarna bukan pewarna makanan. Kalau makanan yang berbahaya seperti ini dikonsumsi, selain tidak bergizi dan menyebabkan kanker, juga dapat menyebabkan stunting," ujarnya.
Selain itu, untuk makanan yang mengandung rhodamin B (salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas) kasusnya juga sudah nol atau tidak ada lagi produsen makanan di Bali yang menggunakan rhodamin B.
Pihaknya mencatat dari tahun 2014 hingga saat ini sudah 56 desa di Provinsi Bali yang disasar dengan program Desa Pangan Aman.
"BBPOM juga memiliki program terkait fortifikasi yodium pada garam. Kalau sudah garamnya aman dan mengandung yodium, itu juga bisa mencegah stunting," ucapnya.
Ia menambahkan, saat ini makanan berbahaya yang masih ditemukan di masyarakat adalah kerupuk beras yang menggunakan boraks. "Boraks ini sebenarnya pengawet kayu tetapi masih digunakan untuk pengawet makanan. Ini tentu tidak baik jika digunakan pada makanan untuk perenyah dan pengenyal," katanya.
Ekayani berharap mulai dari calon pengantin agar dapat menjaga keamanan pangan, sehingga nantinya dapat diterapkan di lingkungan keluarga untuk mencegah stunting.
Dengan upaya kolaborasi dari berbagai komponen dan pemangku kepentingan terkait, diharapkan tidak ada pertumbuhan generasi di Bali yang mengarah pada stunting.
Angka prevalensi stunting di Provinsi Bali pada tahun 2022 tercatat sebesar 8 persen, kemudian pada 2023 mencapai 7,2 persen. Bali pada 2023 tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi stunting terendah di Indonesia.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024
Tags: