Dalam acara bedah buku bertajuk Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama yang digelar di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu, ia mengatakan bahwa hambatan pertama yang ditemui adalah pengadu yang tidak kooperatif.
"Seringkali memang ada pengadu yang tidak kooperatif. Mereka lebih tertutup dan fanatisme-nya cukup tinggi. Di dalam setiap komunikasi, mereka selalu mengatakan pokoknya begini dan kalau tidak begini, mereka tidak mau. Jadi, tidak ada ruang untuk melakukan dialog," ujar dia.
Diketahui, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis bangunan gedung, dan persyaratan khusus.
Baca juga: Merawat kebebasan beragama melalui guru
Baca juga: Aksi pembubaran ibadah mahasiswa Unpam langgar kebebasan beragama
Baca juga: Kemenkumham: Indonesia telah terapkan kebebasan beragama dengan baik
Hambatan terakhir adalah Sumber Daya Manusia (SDM) di Komnas HAM yang minim untuk melakukan fungsi mediasi. Ia menjelaskan bahwa di dalam proses mediasi, terdapat Jabatan Fungsional Penata Mediasi.
Namun, dalam Peraturan Menpan RB Nomor 12 Tahun 2021, jabatan tersebut hanya diberikan kewenangan untuk mendukung pelaksanaan mediasi. Maksud dari bertugas mendukung pelaksanaan adalah menyiapkan bahan mediasi dan melakukan analisis, namun tidak memiliki mandat untuk melakukan mediasi.
"Jadi, itulah mungkin yang menjadi hambatan kita karena selama ini kegiatan mediasi hanya bisa dilakukan oleh mediator komisioner," ucapnya.
Menurutnya, penanganan kasus KBB tidak bisa hanya dilakukan oleh salah satu pihak dan sangat tergantung pada dukungan serta kerja sama berbagai pemegang kewenangan.
Oleh karena itu, ia berharap akan ada kerja sama yang lebih luas untuk terus mensosialisasikan dan membangun jejaring dalam menyelesaikan permasalahan KBB.
"Yang lebih penting lagi adalah mempersiapkan lebih banyak SDM agar penanganan kasus KBB bisa semakin membaik," pungkas dia.