Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto mengingatkan urgensi tiga unsur negara hukum (rule of law) agar sebuah bangsa yang menganut konsep negara hukum tidak berubah menjadi negara kekuasaan.

“Ada banyak teori negara hukum itu, rule of law, tetapi ada tiga unsurnya,” kata Sulistyowati Irianto dalam Diskusi Publik Hukum sebagai Senjata Politik yang digelar oleh Nurcholish Madjid Society di Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan unsur yang pertama ialah prosedural formal. Unsur ini menitikberatkan nilai-nilai demokrasi dalam pembuatan peraturan hukum yang harus bisa mengakomodasi seluruh masyarakat.

“Intinya di situ adalah demokrasi. Membuat hukum itu harus hukumnya tertulis, bisa dimengerti oleh semua warga negara, dan prosedurnya itu harus melibatkan partisipasi publik yang luas,” ujarnya.

Unsur kedua, kata dia, yakni substansi. Di dalam hukum terdapat hak-hak asasi dari individu ataupun kelompok sosial yang harus dipenuhi.

Kemudian, unsur yang ketiga adalah mekanisme kontrol. “Siapa yang bisa mengontrol pemisahan kekuasaan? Pengadilan yang independen,” kata Sulistyowati.

Pada kesempatan yang sama, Sulistyowati juga membahas aliran critical legal studies (studi hukum kritis) yang mengatakan bahwa hukum diciptakan untuk mendefinisikan kepentingan kekuasaan.

“Caranya bagaimana? Sekelompok elite penguasa yang jumlahnya kecil melakukan represi terhadap mayoritas orang yang tidak punya kuasa atau kuasanya kecil saja,” katanya.

Dalam kaitannya dengan kondisi hukum di Indonesia belakangan ini, ia menegaskan bahwa tiga unsur negara hukum tersebut menjadi penting untuk diimplementasikan.

Hal itu agar eksistensi konsep negara hukum tidak tergerus. “Kita memang bisa shifting, berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan,” ucap Sulistyowati mengingatkan.

Baca juga: Pakar ingatkan Hadi memperhatikan saran Tim Percepatan Reformasi Hukum
Baca juga: Pakar: Hari Kehakiman momentum MA menengok kembali hukum lokal