Solo (ANTARA News) - Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Perdagangan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat meminta perjanjian perdagangan internasional dibuat melalui persetujuan DPR, kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima.

Aria Bima dalam siaran persnya, Rabu, mengatakan, perlunya persetujuan DPR terhadap perjanjian perdagangan internasional itu disampaikan fraksi-fraksi dalam rapat Panitia Kerja RUU Perdagangan dengan pemerintah yang berlangsung sejak Jumat (17/1) lalu hingga Rabu ini.

"Namun, pemerintah belum menerima usulan tersebut sehingga memerlukan pembicaraan lagi," kata Bima sambil menambahkan fraksi-fraksi DPR berpandangan bahwa perjanjian perdagangan internasional perlu mendapat persetujuan Dewan karena memiliki dampak luas terhadap perekonomian nasional dan kehidupan masyarakat.

Bima dari Fraksi PDI Perjuangan itu mencontohkan, perjanjian tentang pasar bebas China-ASEAN (CAFTA) membuat produk-produk lokal terdesak karena kalah bersaing dengan produk-produk China yang membanjiri pasar Indonesia.

Ferrari Rumawi dari Fraksi Demokrat mengatakan, fraksinya mengusulkan perjanjian perdagangan internasional harus dengan persetujuan DPR agar tidak merugikan kepentingan nasional.

Ia mengatakan Fraksi Demokrat menginginkan DPR dilibatkan sejak proses perundingan sampai penandatanganan.

Pemerintah menilai perjanjian perdagangan internasional tidak memerlukan persetujuan DPR karena tidak diatur dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional.

Menurut Pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengesahan perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR meliputi: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Rencananya, Panitia Kerja RUU Perdagangan Komisi VI DPR akan melakukan lobi dengan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk mencari titik temu mengenai masalah-masalah krusial yang belum disepakati.

Selain persoalan tentang perlu tidaknya persetujuan DPR terhadap perjanjian perdagangan internasional, masalah lain yang krusial adalah mengenai sistem informasi perdagangan nasional dan Komite Perdagangan Nasional.

Sistem informasi perdagangan nasional merupakan usulan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan Komisi Perdagangan Nasional merupakan usulan Fraksi Golkar.(*)