Jakarta (ANTARA) - Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Ghee Peh mengingatkan para pemangku kepentingan terkait risiko greenwashing dari rencana investasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive.

“Kami meyakini bahwa PLTU captive akan menjadi pendorong utama permintaan batu bara Indonesia di masa mendatang,” ujar Peh dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Kamis.

PLTU captive adalah pembangkit listrik batu bara yang dioperasikan dan dipakai di luar jaringan listrik oleh pelaku industri. Pembangkit ini biasanya dioperasikan oleh perusahaan tertentu untuk menyuplai kebutuhan listriknya sendiri.

“Meski Pemerintah Indonesia mendorong produksi nikel dan aluminium untuk mendukung transisi energi, penting juga untuk menyadari potensi risiko greenwashing dari rencana investasi PLTU captive,” kata Peh.

Dalam laporan sebelumnya, Peh mengungkapkan terdapat total rencana pembangunan PLTU captive dengan kapasitas 21 GW di seluruh Indonesia, yang setara setengah dari total kapasitas pembangkit nasional 2023 sebesar 40,7 GW.

Peh juga menghitung, PLTU captive yang saat ini sudah beroperasi mencapai 13 GW atau setara 32 persen dari total kapasitas 2023 (40,7 GW). Tambahan kapasitas 21 GW diperkirakan menaikkan porsi PLTU captive hingga 52 persen dari total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada 2023.

“Indonesia hanya mempunyai waktu kurang dari tujuh tahun untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris, yakni memangkas emisi CO2 hingga 32 persen pada 2030. Prospek pertumbuhan masif PLTU baru kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran di antara anggota Just Energy Transition Partnership (JETP),” ujar Peh menjelaskan.

Lantaran memiliki intensitas karbon yang tinggi, Peh meyakini PLTU captive yang dioperasikan oleh pelaku industri dapat menghambat komitmen dekarbonisasi dan transisi energi yang ditetapkan dalam kesepakatan JETP senilai 20 miliar dolar AS.

Selain itu, Pemerintah Indonesia melalui dokumen penurunan emisi nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) yang merupakan mandat Perjanjian Paris, memiliki komitmen untuk menurunkan emisi CO2 32 persen pada 2030.

“Rencana investasi baru di sektor batu bara diragukan akan membantu upaya Indonesia mencapai target tersebut tepat waktu,” kata Peh.