Jakarta (ANTARA News) - Jelang pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif, partai politik dan para calegnya semakin berlomba untuk melakukan aktivitas kampanye guna mendapat simpati rakyat sehingga bisa meraup suara sebanyak-banyaknya pada hari pemungutan suara.

Tak bisa dipungkiri bahwa masa kampanye menjadi satu-satunya momen paling tepat bagi para bakal calon wakil rakyat untuk terjun langsung ke lumbung suara di daerah pemilihan (dapil).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuat peraturan bahwa pelaksanaan kampanye dapat dilakukan melalui tujuh kegiatan, yaitu pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan media massa, rapat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 dan Nomor 15 Tahun 2013 sebagai Perubahan atas Peraturan Nomor 1 tersebut, KPU mengatur pembatasan jumlah peserta kampanye, yakni masyarakat calon pemilih, yang boleh ikut serta dalam kegiatan kampanye berupa pertemuan terbatas dan tatap muka.

Pertemuan terbatas harus dilakukan di ruang tertutup dengan jumlah peserta kampanye paling banyak 1.000 orang di tingkat Pusat (DPP partai), 500 orang di tingkat provinsi dan 250 orang di tingkat kabupaten-kota.

Sementara itu, kampanye tatap muka dilakukan di luar ruangan secara dialogis antara caleg dan konstituennya, antara lain dengan mengunjungi sejumlah lokasi publik.

Terkait penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga, dua hal tersebut merupakan aktivitas yang rawan disalahgunakan oleh caleg dan parpol.

Caleg dilarang memasang alat peraga berupa baliho, dan sebagai gantinya diperkenankan memasang spanduk dengan ukuran 1,5 x 7 meter.

Baliho hanya diperkenankan untuk partai politik, yang hanya boleh dipasang satu unit di satu desa atau kelurahan.

Dalam baliho tersebut juga tidak diperkenankan memajang foto pengurus non-caleg. Parpol diperbolehkan memasang seluruh foto caleg dalam baliho tersebut, dan tidak diperkenankan memajang caleg tertentu saja.

Terkait lokasi pemasangan alat peraga kampanye dan pelaksanaan kampanye terbuka, KPU bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah berkoordinasi dengan seluruh pemda kabupaten-kota dalam menentukan batas zonasi kampanye.

"Zonasi perlu disiapkan secara khusus, terutama untuk kampanye terbuka selama 21 hari menjelang hari tenang sehingga harus dibagi. Misalnya untuk Partai A di mana, Partai B di mana, supaya nanti tidak bentrok dengan partai lainnya," kata Komisioner KPU Pusat Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Meskipun sudah ditentukan lokasi pemasangan dan material alat peraga kampanye, masih banyak caleg yang nakal menaruh alat peraga sesuka hati.

Banyak caleg yang masih memasang alat peraga di pohon, tiang listrik, fasilitas umum dan rumah ibadah. Modus pemasangan alat peraga para caleg itu pun beragam, mulai dari ucapan selamat hari raya hingga penyampaian visi dan misi.

Bahkan tidak sedikit caleg yang masih ngeyel memasang baliho. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, misalnya, masih terdapat sejumlah caleg anggota DPR yang memasang baliho berukuran besar di jalan raya.

Salah satunya baliho besar di perempatan Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten di Jalan Raya Solo-Jogja Km. 4, Klaten Utara.



Curi "start" kampanye

Yang menjadi sorotan terkini soal pelanggaran kampanye adalah terkait pemasangan iklan kampanye di media massa, baik cetak maupun elektronik.

Sedikitnya empat parpol telah mencuri start kampanye iklan media massa sebelum waktu yang ditentukan, yaitu selama 21 hari sebelum masa tenang, atau sejak 16 Maret hingga 5 April.

Tiga dari empat parpol tersebut memiliki peran kuat terhadap kepemilikan stasiun televisi swasta.

Paralegal Penegak Hukum Pemilu, sebuah kelompok pegiat Pemilu, telah melaporkan keempat parpol tersebut ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran peraturan kampanye.

Mereka adalah Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Hanura, dan Partai Gerindra.

"Ada bukti dalam bentuk rekaman iklan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kampanye, ada lambang partai, nomor urut, dan semacam ajakan secara halus meskipun tidak secara langsung disebutkan," kata Anggota Paralegal Pemilu Abdul Malik.

Selain memasang iklan di luar masa kampanye terbuka, tindakan parpol-parpol tersebut juga dianggap mencuri frekuensi atau gelombang siaran yang menjadi milik publik.

Aktivis Pong Hardjatmo mengecam partai politik yang menguasai media massa dalam memanfaatkan medianya untuk kepentingan kampanye.

"Banyak program televisi, seperti kuis-kuis yang sudah diatur jawabannya. Itu adalah penipuan publik, hanya ajang berkampanye si pemilik stasiun televisi. Dimana-mana maling frekuensi," kata Pong Hardjatmo.

Sementara itu, Gerakan Frekuensi Milik Publik mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk berani memberi sanksi kepada stasiun televisi yang memanfaatkan frekuensi publik demi kepentingan politik tertentu.

Di stasiun televisi milik Bakrie Grup tidak jarang diselingi iklan yang menonjolkan sisi pribadi Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang digambarkan seolah-olah dekat dan peduli dengan rakyat.

Sementara itu, di stasiun televisi milik Media Group juga pernah menayangkan program acara yang berisi kegiatan politik Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh bersama partainya.

Tak ingin kalah pamor dengan kedua pesaingnya, Wakil Ketua Umum Partai Hanura Harry Tanoesoedibjo pun juga memanfaatkan sejumlah stasiun televisi di bawah manajemen MNC Group miliknya untuk mempublikasikan kegiatan politiknya.

Parpol yang mencuri start kampanye di media massa itu memanfaatkan kekosongan persamaan persepsi antara KPU, Badan Pengawas Pemilu dan KPI dalam menindak pelanggaran kampanye tersebut.

Bagi KPU, kegiatan politik bisa disebut kampanye jika menampilkan unsur lambang parpol, nomor urut parpol, foto pengurus parpol, visi dan atau misi.

Namun, Bawaslu menafsirkan iklan kampanye boleh dilakukan selama tidak menampilkan unsur-unsur tersebut secara bersamaan. Artinya, sah- sah saja selama parpol hanya menampilkan lambang dan nomor urut saja dalam iklan, tanpa menyatakan visi dan misi.

KPI sendiri juga tidak berani pasang badan dengan menyatakan bahwa iklan kampanye tersebut adalah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyiaran, yang menjelaskan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Sementara itu, parpol bersangkutan berdalih bahwa masa kampanye iklan melalui media massa belum berlangsung, sehingga iklan-iklan tersebut tidak bisa disebut sebagai pelanggaran.

Pada akhirnya, berbagai peraturan dan undang-undang yang dibuat untuk menertibkan kegiatan politik di Negeri ini menjadi sia-sia karena lembaga terkait melempar tanggung jawab. Dan hal itu dimanfaatkan oleh parpol.