Jakarta (ANTARA) - Psikolog Klinis Anak dan Remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo menyebut bahwa orang tua perlu bebas dari gawai saat bermain dengan anak.

“Waktu ideal untuk bermain dengan anak yakni saat anak maupun orang tua sedang dalam keadaan rileks atau santai, tidak terdistraksi oleh urusan lain dan gadget-free (bebas gawai),” kata Vera saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Untuk diketahui, hari ini, 11 Juni, melalui Resolusi Nomor A/RES/78/268 yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sidang Umum pada 25 Maret 2024, ditetapkan sebagai Hari Bermain Internasional seiring dengan banyaknya para mitra global yang memperjuangkan hak bermain anak-anak.

Menurut Vera, sangat penting bagi orang tua meluangkan waktu untuk bermain dengan anak karena akan memengaruhi tumbuh kembangnya.

“Sebagai orang dewasa terdekat bagi anak yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan anak, penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa bermain merupakan kebutuhan anak, tidak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi tumbuh kembangnya,” ujarnya.

Ia mencontohkan salah satu aktivitas bermain yang dilakukan anak dan penting untuk diperhatikan oleh orang tua karena memperlihatkan tumbuh kembangnya.

“Misal anak terlihat main dengan kursi kecil yang didorong ke sana kemari, sebetulnya sedang mengembangkan otot kaki dan kemampuan berjalan,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Program Studi Psikologi Terapan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Rose Mini Agus Salim, juga menyebut pentingnya kakek/nenek untuk mengenali tahapan perkembangan ketika bermain dengan cucu dan melakukan pengasuhan.

"Kakek/nenek juga harus mendengar keinginan dan harapan anak (orang tua) terhadap cucu seperti apa, lalu mengenali kebiasaan, kelebihan, dan kelemahan anak atau cucu, serta mengenali kebutuhan cucu sesuai dengan tahapan perkembangan mereka," kata Rose dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, setiap tahapan perkembangan anak membutuhkan pendekatan yang berbeda.

"Kalau balita atau prasekolah mungkin bisa dengan cerita shadow puppet (wayang) misalnya, jadi menganalogikan sesuatu, karena tingkat perkembangan kognitif anak masih terbatas, enggak bisa abstrak, semua harus konkret dan operasional," ujar dia.

Baca juga: Psikolog UI sebut pentingnya pemahaman moral anak hindari perundungan

Baca juga: Ahli psikologi: Wawasan komprehensif bentuk anak yang toleran